Polisi, Teroris, dan Islam Menurut Clifford Geertz
Profisiat Polri atas HUT-nya, semakin profesional, tepercaya, dan humanis
Duka yang menyelimuti kisaran hari ulang tahun ini, semoga tidak menjadi teror psikis yang berkelanjutan. Ketakutan yang berlebihan seperti di era lampau menambah suka ria teroris. Bagaimana tidak, ketika pos polisi diberi teralis besi, polisi berdua-dua dalam tugasnya, berangkat tidak boleh sendiri, dan sebagainya, bagaimana mau memberi rasa aman masyarakat, kalau mereka sendiri ketakutan. Teroris sukses dengan baik mempengaruhi psikis polisi jika demikian.
Miris dan memprihatinkan sebenarnya jika menilik apa yang dikatakan sebelum penikaman adalah ungkapan pujian kepada Sang Pencipta yang dilanjutkan dengan “pembunuhan”, ditempat ibadah, sedang beribadah lagi. Apa yang terjadi tentu sangat memprihatinkan. Jelas ini bukan soal agama, namun kedok agama.
Teroris dan Radikalis
Beberapa tahun lalu, gereja dan tempat ibadah lain justru menjadi tempat pesta pora kematian mereka. Sangat mudah dipahami jika model ini, bukan mau membenarkan, namun jelas sangat mudah diterima akal sehat. Kemudian bergeser ke arah fasilitas dan kawasan yang banyak orang asing. Lagi-lagi, bisa dimaklumi keadaan ini. jelas bahwa asing terutama barat khususnya Amerika Serikat ada pada kubu yang berbeda dan berseberangan. Akhir-akhir ini, malah polisi dan masjid menjadi tempat pertumpahan darah. Sama sekali tidak bisa diterima nalar waras, bagaimana bisa orang beribadah, bersama lagi, bisa dengan penuh amarah dan dendam kemudian membunuh.
Lingkaran Kekerasan, Korban Malah Keluarga dan Diri Sendiri
Dendam yang sering didengungkan ketika pelaku teror masih selamat dan ditangkap. Jika dendam karena polisi menembak, menahan, dan memenjarakan mereka, apakah mereka tidak pernah berpikir pada sisi korban, keluarga yang menderita atas perilaku mereka, ini bukan “musuh” mereka lho, anakistri-suami, keluarga mereka sendiri. Pola pikir egoisme sendiri yang membawa mereka pada perbuatan bodoh. Baik, bisa dipahami, kalau mereka bisa masuk surga dengan cara mereka, namun ingat tidak tanggung jawab mereka di dunia ini, keluarga yang telantar, sedang mereka enak-enakan di dunia yang berbeda itu? Dendam kepada polisi, lembaga, dengan mengorbankan keluarga sendiri. Coba minta para petinggi pelaku itu melakukan sendiri terlebih dahulu. Apa juga ada jaminan keluarganya sejahtera? Pihak kepolisian jelas ada negara yang menjamin kehidupan keluarga yang ditinggalkan.
Islam Menurut Clifford Geertz
Ingat ini bukan soal rasa atau sentimen, namun penelitian mendalam oleh ahlinya, di dua bangsa yang berbeda, Indonesia dan Maroko. Sama-sama berangkat dari korban penjajahan Barat, satu oleh Perancis dan satu oleh Belanda. Sama-sama agama terbesar adalah Islam. Namun keduanya ternyata sangat jauh berbeda, karena pengaruh akar dan tanah di mana mereka hidup pada awalnya. Prof Geertz menuilskan bahwa Islam di Indonesia berkembang secara fleksibel, mampu beradaptasi, menyerap nilai lokal, dan pragmatis. Sangat berbeda dengan Islam Maroko yang tidak mengenal kompromi, keras, fundamental, dan agresif. Apa yang terjadi di sini, saat ini, Islam yang ada bukan Islam Nusantara menurut Geertz sependek saya pahami. Bagaimana memaksakan kehendak, mengintimidasi dengan berbagai cara, menyalahkan pihak lain sebagai musuh dan menumpahkan darahnya adalah sah, jelas bukan ini. Terbukanya arus informasi dan media tentu sangat berpengaruh, bagaimana semua bisa saling menguatkan namun bisa juga melemahkan.
Menghadapi Teror dan Radikalis