Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Polisi, Teroris, dan Islam Menurut Clifford Geertz

1 Juli 2017   08:43 Diperbarui: 1 Juli 2017   18:47 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Polisi, Teroris, dan Islam Menurut Clifford Geertz

Profisiat Polri atas HUT-nya, semakin profesional, tepercaya, dan humanis

Duka yang menyelimuti kisaran hari ulang tahun ini, semoga tidak menjadi teror psikis yang berkelanjutan. Ketakutan yang berlebihan seperti di era lampau menambah suka ria teroris. Bagaimana tidak, ketika pos polisi diberi teralis besi, polisi berdua-dua dalam tugasnya, berangkat tidak boleh sendiri, dan sebagainya, bagaimana mau memberi rasa aman masyarakat, kalau mereka sendiri ketakutan. Teroris sukses dengan baik mempengaruhi psikis polisi jika demikian.

Miris dan memprihatinkan sebenarnya jika menilik apa yang dikatakan sebelum penikaman adalah ungkapan pujian kepada Sang Pencipta yang dilanjutkan dengan “pembunuhan”, ditempat ibadah, sedang beribadah lagi.  Apa yang terjadi tentu sangat memprihatinkan. Jelas ini bukan soal agama, namun kedok agama.

Teroris dan Radikalis

Beberapa tahun lalu, gereja dan tempat ibadah lain justru menjadi tempat pesta pora kematian mereka. Sangat mudah dipahami jika model ini, bukan mau membenarkan, namun jelas sangat mudah diterima akal sehat. Kemudian bergeser ke arah fasilitas dan  kawasan yang banyak orang asing. Lagi-lagi, bisa dimaklumi keadaan ini. jelas bahwa asing terutama barat khususnya Amerika Serikat ada pada kubu yang berbeda dan berseberangan. Akhir-akhir ini, malah polisi dan masjid menjadi tempat pertumpahan darah. Sama sekali tidak bisa diterima nalar waras, bagaimana bisa orang beribadah, bersama lagi, bisa dengan penuh amarah dan dendam kemudian membunuh.

Lingkaran Kekerasan, Korban Malah Keluarga dan Diri Sendiri

Dendam yang sering didengungkan ketika pelaku teror masih selamat dan ditangkap. Jika dendam karena polisi menembak, menahan, dan memenjarakan mereka, apakah mereka tidak pernah berpikir pada sisi korban, keluarga yang menderita atas perilaku mereka, ini bukan “musuh” mereka lho, anakistri-suami, keluarga mereka sendiri. Pola pikir egoisme sendiri yang membawa mereka pada perbuatan bodoh. Baik, bisa dipahami, kalau mereka bisa masuk surga dengan cara mereka, namun ingat tidak tanggung jawab mereka di dunia ini, keluarga yang telantar, sedang mereka enak-enakan di dunia yang berbeda itu? Dendam kepada polisi, lembaga, dengan mengorbankan keluarga sendiri. Coba minta para petinggi pelaku itu melakukan sendiri terlebih dahulu. Apa juga ada jaminan keluarganya sejahtera? Pihak kepolisian jelas ada negara yang menjamin kehidupan keluarga yang ditinggalkan.

Islam Menurut Clifford Geertz

Ingat ini bukan soal rasa atau sentimen, namun penelitian mendalam oleh ahlinya, di dua bangsa yang berbeda, Indonesia dan Maroko. Sama-sama berangkat dari korban penjajahan Barat, satu oleh Perancis dan satu oleh Belanda. Sama-sama agama terbesar adalah Islam. Namun keduanya ternyata sangat jauh berbeda, karena pengaruh akar dan tanah di mana mereka hidup pada awalnya. Prof Geertz menuilskan bahwa Islam di  Indonesia berkembang secara fleksibel, mampu  beradaptasi, menyerap nilai lokal, dan pragmatis. Sangat berbeda dengan Islam Maroko yang tidak mengenal kompromi, keras, fundamental, dan agresif. Apa yang terjadi di sini, saat ini, Islam yang ada bukan Islam Nusantara menurut Geertz sependek saya pahami. Bagaimana memaksakan kehendak, mengintimidasi dengan berbagai cara, menyalahkan pihak lain sebagai musuh dan menumpahkan darahnya adalah sah, jelas bukan ini.  Terbukanya arus informasi dan media tentu sangat berpengaruh, bagaimana semua bisa saling menguatkan namun bisa juga melemahkan.

Menghadapi Teror dan Radikalis

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun