DPR Tersandera Jerat KTP-el
Ayam betina kalau dikejar ayam jago untuk dikerjain, akan lari dan sedikit "terbang", kalau sudah kepepet, jalan buntu atau tembok, apa yang terjadi, labrak. Apapun akan dilakukan untuk mempertahankan diri dan melawan sebisa-bisanya. Ini ayam.
Kisah panjang soal mega proyek KTP-el kelihatannya masih akan terus terurai. Kabinet periode lalu, mulai disebut, juga ketua umum partai terbesar periode itu, dan kini anggota dewan yang sedang berkuasa, dulu mengelola ini mulai panik. Termasuk ketua dewannya. Siapa tidak ngiler melihat uang trilyunan bisa buat bancaan begitu coba?
Awalnya adalah penahanan salah satu anggota dewan yang sempat melarikan diri dan menjadi buronan. Ketika sudah ditangkap, proses panjang untuk persidangan hendak dimulai. Eh malah menghasilkan "kasus" baru dengan soal tekanan kolega dewan yang sudah dicabut, meskipun dewan bersikukuh pada ranah ini, kubu KPK, tidak demikian.
Persoalan berkepanjangan sejatinya pada soal ini, adanya anggota dewan yang menekan, dalam arti mencari aman untuk berhenti pada satu tersangka ini, soal lain bisa diatur. Entah mengapa malah kini ke mana-mana, hingga ada pansus, relasi dengan polisi juga ikut memburuk, ikut memburuk sebagaimana relasi dengan KPK. Â Ancaman pembekuan anggaran KPK dan polisi soal serius, yang sangat jauh dari sikap dewasa, negarawan, dan tentunya proporsional.
Rekaman pemeriksaan.
Awalnya adalah perihal rekaman yang minta didengar oleh pihak dewan. KPK beralasan bahwa itu bagian dari proses penyelidikan, dan bisa ditunggu di pengadilan waktu sidang nantinya. Tahu sendiri ketika anak kecil rewel untuk mendapatkan apa yang diingkan bukan? Eh malah berdirilah pansus yang mau menyelidiki soal KPK. Rekaman menjadi KPK?
Pansus pun Terbentuk
Perang urat syaraf terjadi. Bagaimana alasan pansus yang oleh para ahli tata negara, ahli hukum, dan jelas KPK meragukan apa yang urgen alias mendesak dari adanya pansus. Sebelah di dewan tentu tidak mau tahu yang jelas pokoknya, ingat anak kecil, motifnya pokoknya. Kemudian saling sengakarut, ingat kemampuan dewan toh hanya gitu-gitu saja, ada yang malah soal kewenangan, malah soal tugas pokok KPK, lho mana rekaman?
KPK biang gaduh karena adanya pernyataan untuk meninjau penggunaan anggaran negara. Meradanglah orang yang kena belangnya. Lebih lucu lagi ketuanya juga disebut-sebut dalam kasus yang mau diangket ini. Dengan gagah perkasa malah menuduh KPK dan menyatakan tidak perlu khawatir adanya konflik kepentingan. Tepok pantat dulu.
KPK bersikukuhDari awalnya  rekaman malah jadi tersangka datang, karena muncul konflik baru adanya surat dari tersangka. Seperti mendapatkan angin, ketika bara mau redup, mereka gilang alang kepalang. Apalagi KPK juga enggan memberikan rekaman yang sudah terlupakanitu, malah berganti dengan kedatangan si pembuat surat yang dulunya diperiksa dan ingin rekaman itu mereka dengar.
Polisi mendukung untuk tidak bisa menghadirkan paksa tersangka karena prosedur hukum tidak dapat menjamin hal itu. Usai kelucuan tercipta dengan surat permintaan datang bagi kolega merka itu, minta polisi menghadirkan paksa. Lho lupa lagi kan rekaman sebagai awal pansus?
Malah jadi pembekuan anggaran. Memperlihatkan arogansi kelembagaan, meskipun baru sebatas ide dan orang secara pribadi. Namun dampak luas sekali jika hal itu benar-benar terjadi. Dua lembaga yang konsern pada perbaikan negara malah hancur karena maling berkelompok yang saling melindungi.
Jelas soal kepentingan sendiri/parpol. Â Tidak bisa diragukan lagi, ini hanya soal kepentingan pribadi, kelompok, dan parpol. Lihat saja bagaimana perilaku mereka itu. Semua berbeda karena demi kepentingan masing-masing. Soal rakyat dan negara memang ada dalam benak mereka? Melindungi gunungan uang mereka yang telah mereka rampok dari negara.
Tidak fokus dan berubah-ubah.Hal ini jelas mempertontonkan kualitas dan motivasi mereka. Jika benar demi KPK lebih baik, demi negara, tentu tidak akan mungkin berubah-ubah, apalagi jauh dari motivasi awal. Apakah mereka itu tidak pernah mengadakan evaluasi?
Tidak fokus karena tahu mereka ini melanggar hukum. Mereka sejatinya tahu mereka atau yang hendak mereka lindungi itu melanggar hukum, namun kepalang basah, ya sudah all out semua dilabrak dan ditabrak. Dalih dewan terhormat dan kenal hukum, kalau maling ya tidak kebal dong.
Tidak konsisten.Ini salah satu alasan mendasar dan fakta jelas mereka tidak berpikir demi bangsa dan negara. Mereka berbeda-beda sikap, berubah-ubah apa yang mau dilakukan. Bagaimana bisa orang dan lembaga yang dipenuhi orang tidak konsisten bisa disebut terhormat?
Apakah bangsa ini akan selalu disandera oleh kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompok terus seperti ini? Sayang bangsa kaya raya ini digerogoti rayap dan tikus yang sangat rakus tanpa pandang bulu, recehanpun diembat, apalagi yang besar dan mahabesar seperti KTP-el ini.
Mega proyek, penanganannya juga harus ekstrakeras dan ekstrategas, sehingga tidak ada yang lepas dan ngumpet saja. Buktikan, buka rekening, dan kekayaannya. Demi bangsa dan negara. Ini kan kata raktyat, beda dengan yang wakil rakyat, wakil kayanya, wakil sejaheranya, wakili malingnya bolehlah.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H