Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Listrik Mahal, BBM Naik Ngedumel

9 Juni 2017   20:14 Diperbarui: 12 Juni 2017   08:37 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Listrik Mahal Marah, BBM Naik Ngedumel

Menarik membaca bak truk pasir dengan tulisan sangat menohok, memang dalam bahasa Jawa, namun sangat mengena, Aku jare marai macet, dalan rusak, aku tak takon, apa omahmu seka lempung?Aku dikatakan membuat macet, jalan rusak, aku akan bertanya, apa rumahnya dari tanah liat?

Membaca itu jadi teringat soal pembangunan pabrik semen di Rembang yang menjadi polemik berkepanjangan. Pro kontra berselieran, mana yang berdalih lingkunganlah, karena airnya nanti susah, atau banyak lagi alasan yang dipakai untuk membenarkan ataupun menyalahkan berdirinya pabrik di sana. Demo dengan menyemen kaki, lho?? Gak salah, katanya gak mau ada pabrik semen kog nyemen kaki? Sebuah tanya, jika pabrik semen tidak boleh dibangun dengan alasan apapun, rumah yang kontra itu dibuat dari apa? Tembok atau  kayu? Jika mau konsisten, tidak juga menggunakan produk olahan dari semen, bukan mendua begitu.

Listrik mahal, teriak-teriak. Menyalahkan presiden segala, sebuah tanya, di rumah menggunakan listrik bijak atau tidak? Listrik untuk penerangan, kulkas, atau setrika masih bisa dianggap kebutuhan. Namun jika sudah pompa air hanya untuk sumur dua meter, atau AC untuk rumah tangga di daerah yang tidak terlalu panas, itu berlebihan dan tidak bijaksana tentunya. Nyatanya tiap rumah lebih dari dua hape,yang tidak juga sedikit lho listriknya. Memarut kelapa saja sudah enggan, minum kalau tidak pakai es tidak mau. Sikap mendua ini perlu dikikis agar tidak menjadi gaya hidup yang hanya mengeluh ke sana kemari, menolak ini itu, di sisi lain juga menggunakan dengan tidak bijaksana.

BBM naik ngamuk, demo, marah, padahal jalan 150 meter saja sudah enggan. Satu rumah ada dua tiga motor atau mobil. Bagaimana tidak mahal ketika angkutan umum malah mengiklankan kotak sabun ke sana ke mari, kosong melompong hanya berisi kru yang ngenes,sedang di kiri kanannya berseliweran mobil-mobil dan motor pribadi yang seolah pamer kekayaan dan kepemilikan, yang sering pula tidak mampu sebenarnya.

Apa yang perlu dibangun?

Budaya pamer. Hal ini sering menggerogoti kesehatan bangsa. Tidak mampu namun memaksakan keinginan untuk sama dengan tetangga. Hal ini melebar ke arah korup, kriminal, iri dan dengki, dan keburukan serta kejahatan demi kejahatan akan merambah. Ini soal sikap batin bukan semata soal yang kecil dan ringan. Sikap ini harus dikikis

Malu akan kejahatan. Selama ini tidak malu maling, korup, asal bisa pamer mobil, rumah mewah, atau kepemilikan, meskipun asalnya tidak jelas, bahkan maling sekalipun. Malu sederhana atau miskin malah gak malu maling dan merugikan pihak lain.

Sportif. Jiwa sportif masih jauh dari kebiasaan bangsa ini. main dua kaki, kalau menguntungkan dirangkul, kalau tidak dapat apa-apa ditendang. Hal ini sering menghabiskan energi bangsa kita. Ribut yang pada akhirnya juga bisa diterapkan dan dilakukan. Sepertinya kalau belum ribut tidak puas.

Rasa syukur. Selama ini selalu saja merasa kurang, menderita, dan sejenisnya. Hal ini membuat semua kelihatan buruk dan jelek saja. Dengan rasa syukur bisa melihat kebaikan meskipun kecil, membantu bangsa ini lebih berkembang dan maju, bukan malah mundur dan tidak melangkah jauh.

Tindakan bijaksana. Hidup boros, bermewah-mewah, dan menggunakan secara sembarangan dalam banyak hal merupakan sebagian tabiat bangsa yang perlu diubah. Tidak ada yang salah dengan listrik, BBM, semen, namun bijak menggunakannya, tidak memboroskannya. Memakai sesuai kebutuhan, bukan karena pengin orang lain.

Sikap tanggung jawab bukan hanya pokoknya berbeda. Sikap ini mulai menguat akhir-akhir ini. belum lagi diperparah jika orang lain menderita tidak soal asal bukan saya. Banyak kasus menjadi bukti akanfakta ini.

Apa yang bisa mengubah paradigma itu semua?

Pendidikan. Pendidikan yang mengejar prestasi dengan mengabaikan proses menghasilkan generasi instan tanpa kedalaman jiwa. Perlu dibenahi untuk memberikan siswa mampu menganalisis dan mengelurkan pendapat lebih banyak.

Agama. Bagaimana keteladanan dan pemahaman agama bukan semata ritual dan apalan sangat menggugah jiwa untuk bisa hidup dengan arif dan bijaksana. Rasa dan sikap syukur jelas dipupuk dari ranah ini.

Kehendak baik hidup bersama sebagai bangsa. Sikap ini membantu orang untuk selalu mengedepankan keakuanku semata, namun sebagai satu bangsa utuh. Deritaku derita bangsaku dan sukaku suka bangsaku, derita orang lain juga deritaku juga, bukan sebaliknya. Kalau rugi ogah, jika untung ikut semua.

Kebebasan dan kepemilikan sendiri juga terbatas oleh kebebasan dan kebutuhan orang lain. Negara ini bukan  komunis namun juga bukan negara liberal, yang bisa semau-maunya saja. Lihat bagaimana menolak ini itu seperti bukan sebagai saudara sebangsa, atau menguasai dan menggunakan ini karena aku mampu beli, lupa anak cucu.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun