Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kafir, Kristen, Nek Mati Dipentheng

29 Mei 2017   12:40 Diperbarui: 29 Mei 2017   12:54 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kafir, Kristen, Nek Mati Dipentheng

Kafir, Kristen kalau mati disalib

Membaca, berdiskusi di media sosial akhir-akhir ini, apalagi kemarin ada yang menanyakan sudah tahukah ada pembakaran Alkitab di suatu kawasan yang banyak Kekristenan, jadi ingat pengalaman masa kecil. Ini asli yang saya alami. Desa saya, penganut Katolik Cuma kami sekelurga, Kristen Protestan sekitar 39 jiwa, dan semua Moslim. Pesantren bahkan ada lima.

Hanya satu adik kelas kalau melihat saya, pasti mengatakan, Kristen, nek mati dipentheng, atau kafir, kafir. Nada datar, bukan mengolok, atau menghina, entah apa juga motivasinya, atau mendapatkan pengajaran dari mana, karena dari seluruh desa ya hanya satu itu yang selalu mengatakan itu. Sama sekali tidak menjadi soal dan masalah.

Refleksi saya kini, apa toh beratnya dikatakan kafir oleh pihak lain, kalau saya, yang sejak awal dua puluhan sudah mulai beruban, dan di sisi kanan atas mata itu putih duluan, ada yang memanggil belang, dan itulah bagi saya, mereka melihat saya si belang, atau si kafir. Tidak ada bedanya, patut sakit hati atau sedih kalau Tuhan Sang Pencipta yang mengatakan kamu kafir, itu sudah tamat.

Tujuan manusia hidup itu akan kembali ke pangkuan Tuhan bukan? Artinya, urip mampir ngombe,akan kembali ke Tuhan. Tentu semua dari Tuhan yang sama, akan kembali ke Tuhan yang sama. Saya yakin Tuhan manusia itu sama kog. Seumpama, mau kembali   itu menggunakan jalan yang berbeda, atau moda yang berbeda, ada yang naik pesawat, ada yang naik bus, ada yang naik kapal, ada pula yang jalan kaki.

Misalnya mau ke Jakarta, dari Semarang, naik kapal dari Tanjung Emas ke Tanjung Priok sekitar dua belas hingga dua puluh empat jam. Apa yang disaksikan penumpang kapal, ada ikan terbang, matahari terbit atau terbenam yang sangat indah, goncangan kapal yang keras kalau pas ada alun, atau angin yang sangat menyegarkan, atau panas terik karena matahari sangat panas di musim kemarau, misalnya. Semua ini tentu tidak akan dialami penumpang bis atau pesawat. Khas penumpang kapal tentunya.

Dari bandara Ahmad Yani menuju Halim atau Sukarno-Hatta, tidak akan sampai dua jam. Sejam sudah berpindah ke kota Jakarta. Apa yang disaksikan sangat berbeda dengan yang dilihat oleh penumpang kapal dan bus tentunya. Penumpang pesawat bisa saja melihat awan lebih dekat, atau laut dan hutan yang indah dari atas. Gedung-gedung tinggi di bawah itu hanya kotak-kota yang nampak kecil dari atas. Penumpang bis tidak bisa melihat itu, apalagi penumpang kapal.

Penumpang bus yang hanya menjalani laku kurang dari 10 jam sudah sampai Jakarta. Apa yang disaksikan jejeran warung, ruko yang makin menjamur, atau arus berlawanan dengan anek bis, mobil, motor, dan kadang meliwati sedikit hutan di sana-sini, atau melihat laut di kejauhan seperti di pantura. Tidak akan bisa melihat ikan layang atau kotak yang padahal gedung bertingkt kalau dari atas bis.

Pejalan kaki, bisa berhari-hari baru tiba di Jakarta. Apa yang disaksikan tentu berbeda dengan apa yang dialami yang naik bis, kereta, atau kapal, dan pesawat. Ia bisa berkisah soal perjumpaan, mungkit kesakitan, dan juga kedinginan dan kepanasan yang amat sangat.

Apakah salah apa yang dialami si pejalan kaki yang telapak kakinya melepuh? Logis tidak ketika yang naik pesawat mengatakan mana melepuh wong tidak capek juga? Atau kog bisa melepuh, kan ada pendingin udara?

Apakah bisa juga si pejalan kaki yang mendengar kalau gedung bertingkat itu kelihatan kotak saja dari atas sana. Ah matamu harus diperiksa mana bisa gedung bertingkat sepuluh hanya kotak kecil begitu? Dia juga tidak bisa menghakimi ketakutan penumpang kapal yang diombang-ambingkan ombak saking kerasnya. Mana ada angin, aku saja tidak terjerembab waktu jalan.

Soal iman, agama, atau spiritualitas itu sangat personal saya dan Tuhan, mengapa harus takut cap, label atau sakit hati oleh penamaan oleh pihak lain? Hal yang biasa, lumrah, wajar nama itu berbeda. Tidak perlu sampai bberkelahi hanya karena label atau nama.

Iman juga berkaitan dengan pengalaman. Pengalaman saya belum tentu sama dengan SI A, SI B, atau Anda, tidak bisa dipaksakan untuk bisa tahu semuanya. Lebih miris lagi jika mau diseragamkan, mana bisa coba.

Perlu hati yang besar untuk hidup bersama. Perbesarlah persamaan, jangan mencari-cari perbedaan. Jika bisa bersikap demikian, hidup akan ringan, tidak mudah tersinggung dan kemudian marah. Pakailah kacamata jernih dan terapkan ke diri sendiri lebih dulu.

Hidup dalam keragaman itu indah, coba bayangkan kalau hanya ada sejenis saja seberapa bosannya coba? Inilah hidup, kebebasan kita bersinggungan dengan kebebasan orang lain. kedewasaan yang memampukan kita bisa mengerti, memahami, dan menerima. Hanya anak kecil kan yang beda sedikit saja ngambeg, marah, mogok, dan marah? Apa mau kita yang berbadan dewasa itu dinamakan kanak-kanak secara kejiwaan? Tidak mau bukan?

Jayalah Indonesia

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun