Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Tiji Tibeh, dari Ahok, Akanlah Membawa Korban Berikut?

11 Mei 2017   08:40 Diperbarui: 11 Mei 2017   09:13 2471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Politik Tiji Tibeh,Jatuh Satu, Jatuh Semua, dari Ahok akankah Membawa Korban Berikut?

Rivalitas tanpa Sportivitas

http://nasional.kompas.com/read/2017/05/10/14373591/ada.nota.dinas.pejabat.pajak.soal.dugaan.pidana.pajak.fahri.hamzah.dan.fadli.zon

Membaca berita tersebut di atas, peristiwa-peristiwa akhir-akhir ini,  susah kalau mengatakan fakta sidang dan hukum sepenuhnya, tanpa ada ikutan yang mengekor di belakangnya. Sulit lepas dari nuansa itu, apalagi yang disebut adalah tokoh politik, dan ndilalah,yang sangat kontra dengan Ahok. Apakah ini kebetulan, kehendak Tuhan, atau memang politik yang ada di sini masih berkisar seperti ini.

Menyenangkan semua pihak, mencari aman, dan yang penting tanpa gejolak.

Tentu sikap manusia yang paling mendasar adalah hal ini. mencari aman, selamat, dan tidak suka kekisruhan. Jika hal ini demi bangsa dan negara bisa dipahami, namanya juga politik, namun jika itu demi kursi, kekuasaan, dan keamanan diri, tentu sebuah ironi, masuk pada politik tanpa prinsip milik Gandhi. Esensi manusiawi tentu ada yang kecewa ada yang suka cita, di sinilah peran kedewasaan dan kecerdasan emosional.  Sangat disayangkan jika demi kepentingan sektarian malah menimbun bara di kemudian hari.

Politik balas dendam dan kekerasan dijawab dengan cara yang sama

Sayangnya model yang masih ada di sini itu, kekerasan dijawab kekerasan, fitnah dibalas fitnah, plintiran dibuat yang sama, sejenis, kapan semua berakhir? Entah mengapa kekerasan hati sejak menjelang pilpres 2014 masih terbawa dan makin menggila lagi kala DKI mengulangi sejarah yang identik. Cara-cara vulgar yang jelas-jelas nampak nyata di depan mata bisa diingkari, atau dinyatakan benar padahal jelas sebentuk kesalahan fatal lagi.

Kutunan Mpu Gandring dan sejarah masa lalu

Entah ini sama atau tidak, yang jelas sejarah pernah berkisah soal yang sama. Kutukan atas perilaku curang di dalam kehidupan perpolitikan. Model tiji tibeh,menjadi andalan politikus kita, kadang lebih parah mengamankan jika di dalam keadaan jahat, lihat maling berdasi susah diungkap karena model ini.

Politik Ahimsaala Gandhi

Gandhi menjawab kekerasan dengan kelembutan. Tidak membalas dengan cara yang sama, bahkan kebalikannya. Menenangkan dan memang perlu proses lama dan ini yang jauh dari tabiat bangsa ini dan zaman instan yang lebih condong ingin cepat dan hasil tanpa mau mengikuti proses.

Bebersih bukan tebang pilih

Jika tiji tibeh,itu adalah untuk bebersih, merevolusi mental bangsa ini, sepakat dan setuju tanpa catatan, namun jika bernuansa politis, demi kursi, citra diri, dan kekuasaan, sama sekali tidak patut terus menerus dilakukan. Mana yang demi bangsa yang lebih baik, kelihatan jika semua sama di muka pengadilan, bukan karena label yang melingkupinya.

Apakah ada harapan ke sana, demi bangsa atau kuasa semata?

Susah mengatakan kalau sudah sesuai harapan, toh nyatanya kebenaran bisa kalah oleh pemaknaan sesaat dan kelompok tertentu. Namun bahwa arah ke sana sudah mulai terlihat, iya. Mengapa susah untuk mengharapkan demi kebaikan bersama?

Sikap saling curiga, ukuran sendiri diterapkan pada orang lain

Entah dari mana sikap ini, yang jelas bangsa ini lebih kuat sikap saling curiga, iri hati, dan dengki, balas dendam. Tidak heran, yang penting orang lain juga jatuh, meskipun bukan karena kejahatannya, asal jatuh saja, soal alasan bisa dicari-cari. Ukuran sendiri diterapkan pada perilaku orang lain. Hal ini sangat mudah terbaca pada pelabelan yang dilakukan pada pihak lain, di Kompasiana ini model ini sangat kuat dan terasa.

Kerendahatian yang masih jauh dari sikap bangsa ini

Bangsa ini entah mengapa memiliki tabiat berani menang tidak berani kalah. Rivalitas tanpa sportivitas, kalah ngamuk, menang ngeledek.Tentu bukan alam demokrasi jika demikian, alam anarkhi lebih cocok.

Main dua kaki sebagai gaya hidup.

Entah juga dari mana model ini menjamur kini. Mengatakan demokrasi nyatanya memaksakan kehendak. Menyatakan mendukung Pancasila, namun mudah sekali memaki dan mengingkari asas-asas Pancasila. Jangan heran kalau anak-anak di pelosok desa pun melakukan karena di puncak elit kekuasaan pun memberikan contoh yang sangat gamblang.

Apakah hal ini mau terus menerus dipakai sebagai gaya hidup? Tentu tidak bukan jawabannya yang pasti ada di pendidikan dan keluarga. Didik anak muda generasi bangsa mendatang untuk memiliki ikap sportif, berani bertanggung jawab atas sikap yang telah diambil.

Hukum ditegakkan dengan semestinya. Sepanjang masih saja berkutat dengan kepentingan jangan harap bisa beranjak maju ke depan bangsa ini. apa tidak malu jika terus menerus seperti ini, kapan membangunnya coba.

Memalukan adalah pelaku kriminal namun bisa berbicara, berlagak, dan bersikap seolah paling suci dan paling hebat di muka bangsa ini, tidak perlu menyebut nama karena sebagian elit bangsa ini perilakunya demikian. Miris sebenarnya, kata Bung Karno satu kata dan perbuatan masih jauh dari karakter bangsa ini.

Jayalah Indonesia

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun