Gandhi menjawab kekerasan dengan kelembutan. Tidak membalas dengan cara yang sama, bahkan kebalikannya. Menenangkan dan memang perlu proses lama dan ini yang jauh dari tabiat bangsa ini dan zaman instan yang lebih condong ingin cepat dan hasil tanpa mau mengikuti proses.
Bebersih bukan tebang pilih
Jika tiji tibeh,itu adalah untuk bebersih, merevolusi mental bangsa ini, sepakat dan setuju tanpa catatan, namun jika bernuansa politis, demi kursi, citra diri, dan kekuasaan, sama sekali tidak patut terus menerus dilakukan. Mana yang demi bangsa yang lebih baik, kelihatan jika semua sama di muka pengadilan, bukan karena label yang melingkupinya.
Apakah ada harapan ke sana, demi bangsa atau kuasa semata?
Susah mengatakan kalau sudah sesuai harapan, toh nyatanya kebenaran bisa kalah oleh pemaknaan sesaat dan kelompok tertentu. Namun bahwa arah ke sana sudah mulai terlihat, iya. Mengapa susah untuk mengharapkan demi kebaikan bersama?
Sikap saling curiga, ukuran sendiri diterapkan pada orang lain
Entah dari mana sikap ini, yang jelas bangsa ini lebih kuat sikap saling curiga, iri hati, dan dengki, balas dendam. Tidak heran, yang penting orang lain juga jatuh, meskipun bukan karena kejahatannya, asal jatuh saja, soal alasan bisa dicari-cari. Ukuran sendiri diterapkan pada perilaku orang lain. Hal ini sangat mudah terbaca pada pelabelan yang dilakukan pada pihak lain, di Kompasiana ini model ini sangat kuat dan terasa.
Kerendahatian yang masih jauh dari sikap bangsa ini
Bangsa ini entah mengapa memiliki tabiat berani menang tidak berani kalah. Rivalitas tanpa sportivitas, kalah ngamuk, menang ngeledek.Tentu bukan alam demokrasi jika demikian, alam anarkhi lebih cocok.
Main dua kaki sebagai gaya hidup.
Entah juga dari mana model ini menjamur kini. Mengatakan demokrasi nyatanya memaksakan kehendak. Menyatakan mendukung Pancasila, namun mudah sekali memaki dan mengingkari asas-asas Pancasila. Jangan heran kalau anak-anak di pelosok desa pun melakukan karena di puncak elit kekuasaan pun memberikan contoh yang sangat gamblang.