Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Tiji Tibeh, dari Ahok, Akanlah Membawa Korban Berikut?

11 Mei 2017   08:40 Diperbarui: 11 Mei 2017   09:13 2471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Gandhi menjawab kekerasan dengan kelembutan. Tidak membalas dengan cara yang sama, bahkan kebalikannya. Menenangkan dan memang perlu proses lama dan ini yang jauh dari tabiat bangsa ini dan zaman instan yang lebih condong ingin cepat dan hasil tanpa mau mengikuti proses.

Bebersih bukan tebang pilih

Jika tiji tibeh,itu adalah untuk bebersih, merevolusi mental bangsa ini, sepakat dan setuju tanpa catatan, namun jika bernuansa politis, demi kursi, citra diri, dan kekuasaan, sama sekali tidak patut terus menerus dilakukan. Mana yang demi bangsa yang lebih baik, kelihatan jika semua sama di muka pengadilan, bukan karena label yang melingkupinya.

Apakah ada harapan ke sana, demi bangsa atau kuasa semata?

Susah mengatakan kalau sudah sesuai harapan, toh nyatanya kebenaran bisa kalah oleh pemaknaan sesaat dan kelompok tertentu. Namun bahwa arah ke sana sudah mulai terlihat, iya. Mengapa susah untuk mengharapkan demi kebaikan bersama?

Sikap saling curiga, ukuran sendiri diterapkan pada orang lain

Entah dari mana sikap ini, yang jelas bangsa ini lebih kuat sikap saling curiga, iri hati, dan dengki, balas dendam. Tidak heran, yang penting orang lain juga jatuh, meskipun bukan karena kejahatannya, asal jatuh saja, soal alasan bisa dicari-cari. Ukuran sendiri diterapkan pada perilaku orang lain. Hal ini sangat mudah terbaca pada pelabelan yang dilakukan pada pihak lain, di Kompasiana ini model ini sangat kuat dan terasa.

Kerendahatian yang masih jauh dari sikap bangsa ini

Bangsa ini entah mengapa memiliki tabiat berani menang tidak berani kalah. Rivalitas tanpa sportivitas, kalah ngamuk, menang ngeledek.Tentu bukan alam demokrasi jika demikian, alam anarkhi lebih cocok.

Main dua kaki sebagai gaya hidup.

Entah juga dari mana model ini menjamur kini. Mengatakan demokrasi nyatanya memaksakan kehendak. Menyatakan mendukung Pancasila, namun mudah sekali memaki dan mengingkari asas-asas Pancasila. Jangan heran kalau anak-anak di pelosok desa pun melakukan karena di puncak elit kekuasaan pun memberikan contoh yang sangat gamblang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun