Surat Edaran Menteri Agama yang Menyejukan dan Kontekstual
Dalam rangka menjaga persatuan dan meningkatkan produktivitas bangsa, merawat kerukunan umat beragama, dan memelihara kesucian tempat ibadah, Menteri Agama menyampaikan seruan agar ceramah agama di rumah ibadah hendaknya memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1. Disampaikan oleh penceramah yang memiliki pemahaman dan komitmen pada tujuan utama diturunkannya agama, yakni melindungi harkat dan martabat kemanusiaan, serta menjaga kelangsungan hidup dan peradamaian umat manusia.
2. Disampaikan berdasarkan pengetahuan keagamaan yang memadai dan bersumber dari ajaran pokok agama.
3. Disampaikan dalam kalimat yang baik dan santun dalam ukuran kepatutan dan kepantasan, terbebas dari umpatan, makian, maupun ujaran kebencian yang dilarang oleh agama mana pun
4. Bernuansa mendidik dan berisi materi pencerahan yang meliputi pencerahan spiritual, intelektual, emosional, dan multikultural. Materi diutamakan berupa nasihat, motivasi dan pengetahuan yang mengarah kepada kebaikan, peningkatan kapasitas diri, pemberdayaan umat, penyempurnaan akhlak, peningkatan kualitas ibadah, pelestarian lingkungan, persatuan bangsa, serta kesejahteraan dan keadilan sosial
5. Materi yang disampaikan tidak bertentangan dengan empat konsensus Bangsa Indonesia, yaitu: Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.
6. Materi yang disampaikan tidak mempertentangkan unsur SARA (suku, agama, ras, antargolongan) yang dapat menimbulkan konflik, mengganggu kerukunan ataupun merusak ikatan bangsa.
7. Materi yang disampaikan tidak bermuatan penghinaan, penodaan, dan/atau pelecehan terhadap pandangan, keyakinan dan praktek ibadah antar/dalam umat beragama, serta tidak mengandung provokasi untuk melakukan tindakan diskriminatif, intimidatif, anarkis, dan destruktif.
8. Materi yang disampaikan tidak bermuatan kampanye politik praktis dan/atau promosi bisnis.
9. Tunduk pada ketentuan hukum yang berlaku terkait dengan penyiaran keagamaan dan penggunaan rumah ibadah.
Pagi tadi, pas membuka surat elektronik mendapatkan surat dari sebuah kelompok seperti tersebut di atas. Membuka K mendapatkan artikel berkaitan dengan hal yang dikirim oleh kelompok tersebut.
Saya sebagai orang Katolik hendak melihat hal tersebut dengan kacamata pengalaman saya sendiri. Membaca edaran menteri agama tersebut sangat setuju, apalagi tensi politik masih tinggi, belum lagi ke depan akan makin tinggi jika tidak dikelola dengan baik. Jadi ingat dalam salah satu pelajaran, kami diingatkan proses panjang yang harus ditempuh, ada ide dari menteri agama era lalu, sangat lalu, yang mengatakan,”Mengapa jadi pastor harus bertahun-tahun, dikursuskan tiga bulan kan bisa.”
Gereja tidak berpolemik dengan hal itu, namun tidak juga menjadikannya sebagai acuan hingga kini sudah puluhan tahun prosesnya masih sama, sepanjang kurang lebih 10-14 tahunan lah untuk bisa menjadi seorang. Yang jelas tidak akan bisa sebelum sepuluh tahun.
Mengapa begitu lama mendidik calon pastor?
Tugasnya tidak ringan, karena menurut Hukum Gereja, seorang pastor memiliki tugas untuk menguduskan, memimpin, dan mengajar. Artinya, bahwa hal tersebut tidak main-main dan bisa sambil lalu.
Mengajar.
Mengajar itu bukan persoalan mudah karena bisa menyesatkan jika salah, maka mereka juga perlu belajar dulu dengan baik dan banyak bekal. Bagaimana jika yang diajar jauh lebih pintar, apalagi sekarang ada media yang sagat membanjiri dengan ilmu pengetahuan. Mengajar berarti juga seorang guru, yang bukan semata mengajarkan pengetahuan namun juga soal iman dan kehidupan. Tidak heran pendidikan calon imam menekankan refleksi, bukan semata pengetahuan, namun juga kedalaman materi itu sendiri. Mengajarkan dirinya,apa yang diajarkan itu dirinya, bukan semata cotbah, cocot obah,namun apa yang diajarkan juga dihidupi. Pengajaran bisa diperoleh dari media, maka tidak heran ada Mbah Google,namun itu tidak cukup. Coba jika mereka mengajarkan hal yang dangkal-dangkal saja, apakah yang diajar tidak lebih dangkal? Menyeluruh,apa yang diajarkan mengenai kehidupan, bagaimana umatnya bisa sejahtera secara spiritual jika gurunya saja masih berkutat berkaitan dengan masalah yang tidak mendasar. Apalagi jika menyangkut iman, teologi, dan Kitab Suci.
Memimpin
Gereja selain sebagai persekutuan, juga adalah lembaga yang memiliki organisasi tersusun rapi. Pastor dan uskup adalah pemimpinnya. Salah satu tugasnya adalah memimpin dengan baik dan benar. Bisa dibayangkan coba jika pendidikannya tidak memadai, olah batinnya lemah, masih berorientasi pada diri dan kepentingan sendiri apa jadinya yang dipimpin. Pastor dipimpin dan memimpin sekaligus, hirarki kepenuhan ada uskup, jadi pastor diawasi uskup, jika melenceng dan memimpin dengan tidak baik, pasti akan disemprit oleh uskup dan juga pembesar jika pastor biarawan tentunya. Apalagi jika menyangkut politik praktis sangat ketat Gereja mengenai hal ini.
Menguduskan
Sebagai sebuah agama, Katolik tentunya memiliki tujuan untuk menyelamatkan umatnya. Di sinilah peran sentral pemimpin jika mau membawa kepada kebenaran. Saat kotbah sangat ketat, bagaimana mau menebarka cinta kasih jika isinya hujatan, tentu umat akan melaporkan imam tersebut ke uskup jika ada pastor yang mencela atau mengatakan hal yang sangat kelewatan. Tidak ada pastor yang bisa seenaknya sendiri berbicara apalagi menjelek-jelekan pihak lain. Sangat tidak patut untuk tugasnya bukan? Bagaimana mau menguduskan pihak lain jika dirinya sendiri masih belepotan dengan kebencian dan kecurigaan.
Artikel ini bukan hendak menyudutkan pihak di luar Katolik, atau memuja Katolik karena agama sendiri, namun perjalanan panjang Gereja Katolik juga pernah mengalami imam yang hidupnya bergelimang materi dan menempel pada kekuasaan. Abag pertengahn atau abab kegelapan Gereja uskup, bahkan paus pun terlibat sangat dekatt dengan kekuasaan dunia.
Pengalaman pahit masa lalu menjadi pembelajaran di kemudian hari dan akhirnya dipilih untuk tidak terlibat dalam politik praktis, apalagi di dalam kegiatan ibadah resmi. Hal yang dikhawatirkan adalah jika pastornya salah memilih pemimpin di dalam wilayah pemerintahan dan umat mengikuti, kan bisa berabe.
Kematangan pribadi pemimpin dan guru juga membantu untuk bisa mengendalikan diri dan umat yang dipimpinnya. Jika pemimpinnya masih mentah dan mudah emosional tentu sangat menentukan gerak dan langkah komunitas tersebut untuk hidup bersama di dalam masyarakat.
Surat edaran menteri tentu sangat tepat untuk meredakan tensi politik yang makin “liar” dengan agenda terselubung yang tidak jarang menggunakan label agama atau tempat ibadah untuk kegiatan politik praktis.
Kebebasan atau demokrasi tentu tidak juga berarti bebas sekehendak hatinya untuk melakukan apa saja. Jangan lupa esensi demokrasi juga menjunjung tinggi hak azasi manusia. Kebebasan yang hakiki tentu berkaitan dengan kebebasan pihak lain yang tidak boleh dilanggar.
Pilar hidup bersama di NKRI yaitu Pancasila, UUD 45, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika sebagai pedoman dalam hidup berbangsa. Tentu tidak meninggalkan dan bertentangan dengan hidup beragama.
Jayalah Indonesia
Salam
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI