Pagi tadi, pas membuka surat elektronik mendapatkan surat dari sebuah kelompok seperti tersebut di atas. Membuka K mendapatkan artikel berkaitan dengan hal yang dikirim oleh kelompok tersebut.
Saya sebagai orang Katolik hendak melihat hal tersebut dengan kacamata pengalaman saya sendiri. Membaca edaran menteri agama tersebut sangat setuju, apalagi tensi politik masih tinggi, belum lagi ke depan akan makin tinggi jika tidak dikelola dengan baik. Jadi ingat dalam salah satu pelajaran, kami diingatkan proses panjang yang harus ditempuh, ada ide dari menteri agama era lalu, sangat lalu, yang mengatakan,”Mengapa jadi pastor harus bertahun-tahun, dikursuskan tiga bulan kan bisa.”
Gereja tidak berpolemik dengan hal itu, namun tidak juga menjadikannya sebagai acuan hingga kini sudah puluhan tahun prosesnya masih sama, sepanjang kurang lebih 10-14 tahunan lah untuk bisa menjadi seorang. Yang jelas tidak akan bisa sebelum sepuluh tahun.
Mengapa begitu lama mendidik calon pastor?
Tugasnya tidak ringan, karena menurut Hukum Gereja, seorang pastor memiliki tugas untuk menguduskan, memimpin, dan mengajar. Artinya, bahwa hal tersebut tidak main-main dan bisa sambil lalu.
Mengajar.
Mengajar itu bukan persoalan mudah karena bisa menyesatkan jika salah, maka mereka juga perlu belajar dulu dengan baik dan banyak bekal. Bagaimana jika yang diajar jauh lebih pintar, apalagi sekarang ada media yang sagat membanjiri dengan ilmu pengetahuan. Mengajar berarti juga seorang guru, yang bukan semata mengajarkan pengetahuan namun juga soal iman dan kehidupan. Tidak heran pendidikan calon imam menekankan refleksi, bukan semata pengetahuan, namun juga kedalaman materi itu sendiri. Mengajarkan dirinya,apa yang diajarkan itu dirinya, bukan semata cotbah, cocot obah,namun apa yang diajarkan juga dihidupi. Pengajaran bisa diperoleh dari media, maka tidak heran ada Mbah Google,namun itu tidak cukup. Coba jika mereka mengajarkan hal yang dangkal-dangkal saja, apakah yang diajar tidak lebih dangkal? Menyeluruh,apa yang diajarkan mengenai kehidupan, bagaimana umatnya bisa sejahtera secara spiritual jika gurunya saja masih berkutat berkaitan dengan masalah yang tidak mendasar. Apalagi jika menyangkut iman, teologi, dan Kitab Suci.
Memimpin
Gereja selain sebagai persekutuan, juga adalah lembaga yang memiliki organisasi tersusun rapi. Pastor dan uskup adalah pemimpinnya. Salah satu tugasnya adalah memimpin dengan baik dan benar. Bisa dibayangkan coba jika pendidikannya tidak memadai, olah batinnya lemah, masih berorientasi pada diri dan kepentingan sendiri apa jadinya yang dipimpin. Pastor dipimpin dan memimpin sekaligus, hirarki kepenuhan ada uskup, jadi pastor diawasi uskup, jika melenceng dan memimpin dengan tidak baik, pasti akan disemprit oleh uskup dan juga pembesar jika pastor biarawan tentunya. Apalagi jika menyangkut politik praktis sangat ketat Gereja mengenai hal ini.
Menguduskan
Sebagai sebuah agama, Katolik tentunya memiliki tujuan untuk menyelamatkan umatnya. Di sinilah peran sentral pemimpin jika mau membawa kepada kebenaran. Saat kotbah sangat ketat, bagaimana mau menebarka cinta kasih jika isinya hujatan, tentu umat akan melaporkan imam tersebut ke uskup jika ada pastor yang mencela atau mengatakan hal yang sangat kelewatan. Tidak ada pastor yang bisa seenaknya sendiri berbicara apalagi menjelek-jelekan pihak lain. Sangat tidak patut untuk tugasnya bukan? Bagaimana mau menguduskan pihak lain jika dirinya sendiri masih belepotan dengan kebencian dan kecurigaan.