Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Melepas Tanggung Jawab Dinilai Wajar

22 April 2017   07:04 Diperbarui: 22 April 2017   18:00 947
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pas di bis eksekutif antarprovinsi ada peringatan dengan tinta merah yang menyatakan Jika makan di rumah makan, pastikan barang berharga dibawa, jangan ditinggal, hilang bukan tanggung jawab kami.Atau di karcis-karcis juga dituliskan barang hilang/rusak risiko penumpang.

Masih bisa dimengerti jika rusak, bus tidak perlu mengganti, misalnya membawa gerabah atau bahan dari kaca, namun jika hilang karena pencurian, copet, atau sejenisnya, ini sebenarnya model lari dari tanggung jawab. Bagaimana penumpang bisa aman dan nyaman adalah tanggung jawab penyedia jasa.

Jangan lupa kunci rumah, kendaraan Anda perlu kunci ganda, ironis peringatan dari kepolisan, oiiii tugas polisi itu penjaga keamanan bukan menyuruh mengamankan diri. Apa yang perlu dibangun adalah sikap tidak mau maling, bukan malah menyalahkan yang dimaling.

Hitung dulu, kalau sudah keluar kami tidak tanggung. Model teller bank, kasir pertokoan, dan sejenisnya. Coba bagaimana bisa kalau antrian panjang eh malah kita sibuk cek antara nota/slip dengan uang, buku tabungan atau belanjaan coba.

Hati-hati makanan dan minuman dari orang yang tidak dikenal, aduuuh bagaimana mau pedekate sama lawan jenis coba, atau mau membantu nenek-nenek yang sangat renta, jika malah diciptakan rasa saling curiga. Waspada boleh, namun bukan curiga, tebarkan sikap jujur dan tulus, bukan sebaliknya.

Hati-hati jangan pakai pakaian terbuka nanti menggoda atau berbahaya, lha yang merkosa siapa, yang diperingatkan siapa. Jangan pergi dengan perhiasan yang mencolok biar tidak ada copet atau rampok.

Hati-hati, jalan berlobang, lho jalan rusak ya diperbaiki bukan diperingati. Boleh dan harus untuk peringatan, itu sementara bukan sementahun. Bagaimana hal ini dibangun, bukan semaya menunggu proyek, namun ada inisiatif untuk berbuat. Birokrasi berbelit perlu dibenahi dan dipangkas agar tidak malah menjadi beban.

Tidak heran menjadi tabiat bangsa ini untuk:

“Mengukum” yang benar dan taat aturan. Lihat saja kemarin BPJS iurannya naik karena banyak yang lari dan tidak bayar. Harusnya adalah menghukum yang tidak bayar dan memberikan penghargaan bagi yang taat aturan. Model yang sama, jika ada parkiran, yang datang dulu biasanya berada di ujung paling jauh, malah bisa pulang belakangan karena kalah oleh yang datang belakangan. Tidak heran lahir anekdot, laporan kehilangan kambing malah hilang pula sapi.

Tidak kaget kalau ada maling malah teriak maling dan dipercaya, atau maling berdasi yang mengatakan maling ketangkap basah mengaku sebagai apes atau kehendak Tuhan. Sikap bertanggung jawab seolah usai kalau sudah mengambil atau menyematkan nama Tuhan. Sudah maling malah memfitnah Tuhan lagi.

Tidak mengherankan kalau perilaku  jahat bahkan bejatpun tidak malu malah seolah bangga dan merasa benar. Bagaimana lucu dan anehnya orang maling tidak malu, sedangkan orang miskin malah malu.

Jangan kaget kalau pelanggar hukum bisa memperoleh promosi dan memiliki kuasa untuk bisa menindas siapa yang pernah membuatnya mendapatkan cap buruk. Padahal itu perbuatan sendiri, namun karena kuasa bisa diputarbalikan fakta yang ada, benar jadi salah, salah jadi benar, dan sejenisnya.

Jangan heran jika bangsa ini susah maju, karena kejujuran, kebenaran, dan keadilan telah digadaikan demi mendapatkan materi yang dinilainya bisa membawa kemuliaan.

Apa yang bisa dilakukan untuk memperbaiki keadaan?

Pendidikan, pendidikan itu bukan semata soal kognisi, namun juga mencakup aspek hati, di mana kualitas pribadi itu bukan semata jejeran titel dan mobil di garasi, serta uang di bank, namun soal kemuliaan hati. Tidak antikaya, namun bahwa kekayaan perlu diperoleh dengan jalan yang baik dan benar. Selama ini anak diajari yang penting lulus, soal caranya, mau beli kunci, mau kerja sama, mau nyontek bukan masalah. Ini persoalan.

Agama, pendidikan agama bukan semata hapal atau tahu, namun lebih dalam menjadi gaya hidup. Tidak akan sulit menemukan orang-orang religius, bahasanya tiap kalimat menggunakan ayat-ayat suci, namun tangannya mencuri tanpa merasa bersalah. Kesatuan kata dan perbuatan belum ada, dan itu ada di dalam ranah pendidikan agama.

Ciptakan keluarga sehat jasmani dan rohani. Bangsa ini bangsa yang kaya, namun miskin dalam budi, dan hal ini lah yang perlu dibangun dan dikembangkan, agar bukan menjadi bangsa materialistis dan hedonis.

Jangan kemudian menuduh budaya asing, karena bergaul dengan bangsa A atau B jadi begini. Bukan salah luar, namun salah sendiri, tidak mampu membangun kebaikan sendiri.

Sikap bertanggung jawab dan tidak mencari kambing hitam perlu menjadi gaya hidup. Tidak malah lari dari konsekuensi kemudian menjadikan pihak lain sebagai korban. Hal ini perlu disadari, dikembangkan, dan diubah agar tidak menjadi-jadi. Tabiat seolah benar, separo benar, dan menyembunyikan kejahatan di balik topeng manis menjadi gaya hidup kekinian.

Jayalah Indonesia

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun