Menyaksikan antrian film besar Hollywood sungguh mencengangkan, dulu, Batman vs Superman, Mission Imposible, dan kini FF 8, luar biasa, bahkan bisa dipesan jauh hari sebelumnya. Kursi selalu penuh jika film itu memang telah memiliki nama.
Sayangnya, nama Indonesia, atau misalnya kota, atau pulau Bali yang sudah begitu kesohor, masih sangat jarang dipakai untuk sekedar disebut, apalagi menjadi lokasi. Pemain pun masih kalah dengan Malaysia, apalagi China, baru patut berbangga pada Joe Taslim dan Iko Uwais, kelihatannya masih jauh untuk menjadi pemain utama seperti Gong Li, Jacky Chan, dan lainnya.
Tidak mungkin sebagai produk industri modern tidak tahu betapa besar pangsa pasar Indonesia, berasal darimana penonton yang membeli film mereka. Tentu Indonesia memberikan kontribusi besar untuk itu.
Mengapa seolah Indonesia ini tidak ramah investasi, sekedar untuk lokasi saja, disebut saja sangat jarang. Beberapa hal berikut mungkin bisa menjawab.
Pertama, hukum atau peraturan yang tidak jelas. Hal ini tentu tidak disukai oleh industri maju yang sudah memegang aturan seperti kitab suci mereka. Sangat malas dengan adanya peraturan yang berbelit, bisa berubah-ubah, dan seenaknya sendiri.
Kedua, tidak ramah atas perbedaan. Bagaimana mau membuat film di sini, kalau akan digeruduk dengan dalih tidak sesuai dengan adat timur, ingat Miss Worlddi Bali saja hebohnya minta ampun,tentu enggan produksi harus terganggu hal yang tidak menguntungkan begini.
Ketiga, campur aduk apapun selalu dikaitkan dengan agama dan biasanya dikemas atas nama budaya timur. Bagaimana film lokal pun tidak bisa tayang dengan leluasa karena ada pihak yang berbeda, seperti “?”, Soegija, film asing seperti Noah, Son of God. Film adalah film bukan apa-apa, mengapa selalu saja seolah paranoid dengan isu-isu menggoyahkan iman dan kepercayaan? Lihat saja FF di Dubai saja pakai bikini gak soal, coba ambil gambar di sini, pasti heboh tujuh turunan.
Keempat, produsen film Indonesia sendiri malah tidak bangga dan menjual pesona Indonesia. Memang sudah banyak menjual tempat-tempat wisata, keindahan alam Indonesia, namun seolah khawatir dan lebih pede dengan lokasi luar.
Kelima, surga pembajak. Bagaimana tidak mulai dari lagu, film, pesawat, sawah (eh ini bener ya), uang bisa dibajak ya di Indonesia. Bisa saja mereka enggan karena selain untung mereka juga rugi di sisi lain.
Sebenarnya bisa menawarkan tempat yang layak jual seperti Bali Raja Ampat, Lombok, Jawa Tengah dan sebagainya, ekonomi kreatif sebenarnya bisa menggarap hal ini, namun perlu kerja keras untuk menyadarkan orang sok moralis agar tidak lompat pagar.
Investasi tentu perlu jaminan lancar dan aman, bukan sebaliknya, demo yang sering tidak berdasar bisa membuat mereka hengkang dan enggan. Pemerintah hal ini yang memiliki peran sangat besar.
Selain keamanan, jaminan regulasi dan peraturan yang jelas dan tidak berbelit. Bisa saja orang datang namun pergi lagi karena berbelit dan mudahnya tafsiran hukum yang sangat lentur di sini. Kembali peran pemerintah di sini.
Tabiat gumunandan merasa sebangsa dan setanah air, merasa ikut terlibat itu sangat besar. Hal ini potensi yang belum digali dan dijual agar mereka suka cita. Menyaksikan Joe Taslim hanya sejenak saja suah membuat tambah penonton, apalagi ada lokasi yang dikenal, pasti jauh lebih heboh.
Pendidikan yang mencerahkan sehingga tidak menilai berbeda itu salah dan belajar ada perbedaan yang bisa menguatkan bukan melemahkan. Hal ini peran lembaga agama dan negara tentunya, sehingga tidak akan ada lagi film dilarang dengan alasan yang sangat tidak jelas dan tidak logis, beda jika film porno atau yang melanggar aturan. Jika hanya membanting sorban, sebagai bahasa simbolis saja sudah didemo, beda kalau itu membanting Kitab Suci, waduh.
Jangan sampai Indonesia hanya jadi pasar, dan penonton hanya ngowoh,tanpa ada kontribusinya bagi bangsa dan negara ini. Hal ini bukan soal antiasing, namun hubungan yang saling menguntungkan tentu jauh lebih baik bagi negara modern.
Bagaimana sikap mendua juga perlu dihilangkan, bagaimana tidak melarang film semacam Noah, namun sevulgar film panas era 90-an toh bisa tayang dengan bebas, atau hantu-hantuan yang tidak jelas ceritanya. Soal film panas yang era kini belum menemukan yang pas. Yang mau saya katakan adalah, soal kecil saja bisa heboh, padahal pada sisi lain yang sama melenggang dengan santainya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H