Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Suap Siluman, di Negeri Siluman, dan Sikap Bertanggung Jawab

8 April 2017   21:30 Diperbarui: 9 April 2017   05:00 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Suap  Siluman, di Negeri Siluman, dan Sikap Bertanggung Jawab

Beberapa waktu lalu ada anggaran siluman di mana bisa tiba-tiba muncuk di pembicaraan padahal awalnya tidak ada, pejabat siluman karena pejabat yang memberikan SK merasa tidak membuat surat keputusan namun ada yang mau dilantik, kini lahir suap siluman karena semua merasa tidak menerima. Tidak ada satupun petinggi negeri ini yang maling dan langsung menyatakan ia saya menerima suap atau mengambil uang negara dan menyatakan menyesal dan mundur.

Uang suap dan mark up,KTP –el yang katanya mega maling itu mengalir sampai jauh seperti lagunya Gesang, dari petinggi partai hingga petinggi negeri, semua senada, tidak menerima, tidak tahu menahu, lha jelas negara kehilangan sekian banyak lha ke mana coba?

Menteri Dalam Negeri yang lalu juga menyatakan tidak menerima uang, nyatanya akhirnya juga mengakui itu, demikian juga di kasus yang berbeda ketua DPD dulu mengatakan tidak menerima uang, di sidang mengaku mengatur soal impor gula, dan kalau dideret sampai besok pagi akan sama saja, semua mengatakan yang sama masih mendingan maling ayam atau tukang nyolong sendal yang mengakui karena kepepet demi sesuap nasi, lha mereka ini bisa mati kekenyangan sebenarnya.

Sikap bertanggung jawab yang rendah, sumpah saja dilanggar, apalagi mengaku

Sudah menjadi gaya hidup sepertinya menyangkal perbuatan mereka sendiri, jelas ada aliran dana (perlu bukti ke mana), ada pengakuan dari saksi (juga perlu dibuktikan), pertemuan bukan hanya berdua, masih saja berkelit. Buka rekaman kamera, mosok hari ini gini tidak ada rekaman (dalih paling konyol tapi pasti dipakai adalah, rekaman sudah dihapus, karena lama). Konsekuensi logis atas perbuatan adalah berani bertanggung jawab bukan tanggung menjawab. Selama ini kita saksikan betapa konyolnya jawaban para maling berdasi itu berdalih, ada yang mengatakan apes, tidak baik menolak rezeki, sumpah potong tangan, gantung di Monas, lupa, tidak tahu, tidak ingat, fitnah, konspirasi, dan sejenisnya yang ujungnya adalah menampik untuk bertanggung jawab.

Mencari kambing hitam.

Hampir selalu perilaku maling yang tertangkap akan mencari kambing hitam. Masih “baik” maling susu bayi di supermarket dengan alasan demi bayinya, atau maling sandal atau ayam demi mengganjal perut. Lha kalau maling uang rakyat dengan dalih tidak menerima, pihak lain lah yang mendapatkannya, buktikan!  Mengapa begitu sulit?

Pertama, PPATK masih saja dikelabui dengan berbagai cara oleh jelas para rampok demokrasi dan rampok berdasi ini.  Mereka menggunakan berbagai-bagai cara untuk tidak terendus oleh PPATK, uang tunai, rekening atas nama berbagai macam orang, dan lain sebagainya.

Kedua, KTP-el juga masih belum maksimal, lagi-lagi maling berdasi terlibat. Dengan KTP tidak baik mereka bisa melakukan aktivitas maling dengan lebih leluasa. Mereka ada di dalam sana terlibat secara serius.

Ketiga, sama-sama pegang kartu mati. Selama ini elit saling sandera kepentingan sehingga tidak bisa bersikap leluasa dalam menegakkan aturan.

Keempat, azas praduga tak bersalah menjadi dalih orang kuat untuk menuntut pelaporan atas kasus rakus mereka. Hal ini sangat jamak kita dengar.

Kelima, istilah hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas sangat kental dan masih kuat terjadi. bagaimana tidak ketika orang memiliki uang dan kuasa dengan mudah lepas dari jerat hukum. Hukum tidak bisa menjangkau kasus-kasus demikian.

Keenam, maling berdasi belum menjadi musuh bersama seperti maling ayam, hukuman masih lemah, malah belum dipermalukan apalagi dimiskinkan, jika demikian, tentu orang bisa jera. Bagaimana perilaku anggota dewan yang masih membela perilaku maling berdasi. Pelemahan KPK dengan berbagai hal masih saja kuat terjadi.

Ketujuh, sistem perpajakan yang masih amburadul. Suka atau tidak suka sistem perpajakan masih kacau, sehingga orang masih bisa menyembunyikan kekayaannya dengan terang benderang. Bagaimana orang bisa jauh dari profilnya, namun tidak malu, termasuk maling.

Kedelapan, gaya hidup mewah namun malas bekerja keras. Ini hampir semua level masyarakat mengalami dan sayangnya masih tidak juga malu.

Solusi apa yang kira-kira bisa dilakukan?

Mendidik budaya malu, bukan takut. Bangsa ini lebih banyak berkutat pada berani atau tidak, malu pada hal yang sebenarnya tidak malu, misalnya malu jalan kaki, malu tidak punya motor, mobil, rumah bagus, namun malah tidak malu pekerjaan biasa memiliki mobil mewah puluhan. Tidak malu melanggar rambu-rambu lalu lintas. Takut kalau tidak terlihat karena tidak memiliki kekayaan. Takut kalau tidak sama dengan tetangganya, padahal memang tidak mampu untuk sama. Terbalik-balik antara harusnya malu dan takut malah sebaliknya.

Pendidikan agama soal tanggung jawab dan pertanggungjawaban akhirat. Apapun agamanya percaya yang namanya hidup setelah kematian atau alam keabadian. Di sanalah pertanggungjawaban yang tidak akan bisa lagi berdalih, mencari kambing hitam, apalagi memfitnah Tuhan sebagai pemilik rencana.

Menerapkan sistem rasa bersalah dan bertanggung jawab sejak kecil. Hukuman sejak kecil sering diterapkan tanpa menerangkan salahnya. Tidak di rumah, tidak di sekolah, semua menghukum tanpa mengatakan salahnya, diandaikan anak tahu, padahal belum tentu. Sikap ini hingga dewasa terus terbawa.

Sikap bertanggung jawab dan berani menangung risiko atas perbuatan belum menjadi gaya hidup, apalagi elit bangsa ini. bisa berkelit mengapa harus menanggung konsekuensi lebih menjadi cara mereka bersikap.

Apakah demikian bangsa yang beradab, beragama, dan mengaku ber-Pancasila itu?

Jayalah Indonesia!

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun