“Kudeta” Akom, Kisruh DPD, Negeri Pesta Pora Proyek, dari KTP-el Hingga, Kuasa Primadona
Kemarin ada yang menarik di dalam persidangan soal KTP-el yang menghebohkan, karena petinggi parpol baik yang masih berkuasa ataupun yang sedang ada di dalam bui, bersaksi. Satu kesamaan, mereka semua menolak namun menunjuk pada pihak lain, ada Pak Beye, ada Pak Setnov, pokoknya bukan mereka tapi pihak lain.
Kisruh pimpinan DPD dan peran MA
Pimpinan DPD banyak menimbulkan kisah “heroik” dalam arti yang buruk sayangnya. Bagaimana hingga menghasilkan baku pukul. Kedua-duanya berpegang pada paradigma pokok e,menang-kalah menjadi panglima. Eh malah melibatkan lembaga lain yang juga mengedepankan prinsip yang sama. Kebenaran hanya satu, tidak mungkin keduanya benar atau keduanya salah. Meskipun bisa juga keduanya mengandung kebenaran dan kesalahan. Soal pimpinan kisruh, belum lagi soal orang parpol menghuni senat yang jelas-jelas berbeda dengan dewan. Entah sampai kapan lembaga hasil reformasi yang tidak jelas bentuknya, diisi oleh orang yang tidak jelas juga, tidak heran, sama sekali hasil gemilang, prestasi, dan kontribusinya sama sekali belum ada, selain banyaknya intrik di dalam sendiri.
“Kudeta” Akom
Pimpinan dewan ini juga lucu serta aneh, ada pimpinan yang sudah dipecat parpolnya, alias independen, belum juga diselesaikan, eh diperparah dengan kudeta ala Setnov beberapa waktu lalu. Hari-hari ini, nama Setnov sangat nyaring terdengar masuk pusaran mega maling KTP-el, kesempatan Akom untuk kembali mengambil alih pucuk pimpinan dewan, jika “kudeta” ini terjadi, miris sungguh. Harapannya adalah tidak terjadi. Bukan tidak mungkin jika Akom dengan para loyalisnya mengambil kesempatan emas ini dengan berbagai-bagai cara, baik konstitusional, misalnya lewat Majelis Komikus dan Dagelan, eh Majelis Kehormatan Dewan Jilid II, atau cara jalanan, misalnya mengajak demo menuntut Setnov dilengserkan. Akom memang tenang, pendiam, tidak banyak mengumbar statemen ataupun pernyataan baik lewat media ataupun media sosial. Air tenang menghanyutkan bisa terjadi dengan dukungan banyak pihak yang merasa tidak diakomodasi oleh Setnov, kecewa akan perilaku Setnov, atau memang menghendaki Golkar bersih bisa saja terjadi.
Negeri Primadona Kuasa dan Mega Maling Proyek
Kekuasaan dan kursi menjadi primadona bagi negeri ini. Kalah ngamuk, menang gak kerja. Sebenarnya tidak ada bedanya kog, lihat saja KMP-KIH dulu, begitu mendapatkan kursi semua tenang, apa yang dilakukan oleh mereka bagi bangsa dan negara ini? Nihil. Fakta lain kursi sebagai primadona adalah tidak berani kalah. Jelas terlihat bagaimana pola barisan sakit hati, kelompok yang selalu menilai salah pihak yang berkuasa tanpa mau menilai hasil dengan obyektif, dan kisruh demi kisruh kali ini sedang menimpa DPD, dan jangan sampai DPR juga mengalami hal yang mirip.
Bancaan proyek telah menjadi gaya hidup. Bagaimana para pimpinan parpol, ketua fraksi, dan jajaran teras mereka berbagi “rezeki” bukan beban kerja demi rakyat, namun uang demi perut sendiri dan parpol.
Ekonomi Beaya tinggi parpol dan politikus. Salah satu faktor mahalnya politik di Indonesia adalah kaderisasi yang tidak ada, ideologi saja tidak punya, dan mudah dengan membeli suara. Gampang saja mengalikan jumlah suara yang diperlukan kali saja X rupiah, sudah pasti jadi anggota dewan. Demikian juga menjadi pimpinan parpol, bukan soal kemampuan dan pengalaman, jumlah rekening yang dimiliki. Tidak akan susah menebak ujung dari itu semua, maling anggaran untuk balik modal yang tidak kecil.
Penyederhanaan parpol dan kaderisasi. Soal mahalnya beaya olitik bisa dipangkas jika mau kerja keras dengan adanya kaderisasi. Pengaderan membuat orang politik tidak mengandalkan uang namun pengalaman dan kemampuan. Jika ini terjadi dengan sendirinya parpol banyak yang gulung tikar, karena seleksi alam tidak ada yang mampu melawan lajunya. Namun apa mau orang parpol berpikir seperti ini? Sama sekali tidak mau atau malah tidak mampu?
Politik menjadi panglima dalam segala bidang, padahal pimpinan masuk jurang kenistaan dan kekisruhan demi kekisruhan. Demokrasi akal-akalan menghasilkan model politikus main uang, maling anggaran, dan tidak berkualitas. Membela yang bayar dan uang yang mahakuasa. Ironis ketika seni untuk mendapatkan kekuasaan itu kehilangan nurani, sehingga yang ada adalah akal-akalan semata. Hukum saja masih bisa dipolitikisasi, apalagi memang ranah politik, kacau makin kacau.
Kekuasaan memang enak, namun tentu untuk bisa menikmati enaknya kursi kuasa itu hendaknya mau berjuang, berproses, dan tahu konsekuensi. Mau enaknya sate kambing namun potong kompas beli, bahkan jatah di depan orang diambil karena tidak mau antri sedang dibakar pun langsung dilahap, perilaku rakus dan tamak menjadikan bangsa ini kerdil dan dengan mudah dilecehkan bangsa lain. Proses itu indah jika mau menjalaninya.
Kekuasaan itu tidak salah, kekuasaan itu baik malah, hanya yang mengemban itu yang memberikan nilai mau baik atau buruk. Akankah selalu seperti ini bangsa ini?
Jayalah Indonesia
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H