Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Akankah Lahir Barisan Sakit Hati Jilid II Usai Pilkada DKI?

5 April 2017   20:48 Diperbarui: 14 Oktober 2017   02:49 2881
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Akankah Lahir Barisan Sakit hati Jilid II Usai Pilkada DKI?

Pak SBY paling suka dengan istilah jilid dua, terutama dalam menyebut kabinet pimpinan beliau. Hal ini hendak menyatakan kalau beliau menyandang presiden selama dua periode. Demikian juga mengenai barisan sakit hati, karena sudah ada barisan sakit hati generasi pertama, usai pilpres lalu.

Pak Jokowi dan Pak Prabowo seteru sengit dalam pilpres kemarin. Sangat disayangkan memang dengan hadirnya dua paslon saja membuat kubu sangat jelas dan tegas. Tidak satu berarti dua dan sebaliknya, soal alternatif ketiga atau  golput seolah tiada. Usai sudah lama pilpres bahkan kontestan yang bersaing dulu sudah makan siang bareng, sudah cipika-cipiki, bahkan berpelukan bak Teletubies. Di balik itu tetap ada yang menganut gaya hidup salawi, bukan karena kritis tapi karena barisan sakit hati yang sepertinya politik itu abadi.

Tidak disangka dan dinyata, eh pilkada DKI mirip, bahkan identik dengan pilpres lalu. Ada dua paslon yang akan bertarung di putaran kedua, usai putaran pertama telah tereliminasi dengan tragis paslon muda. Miris sebenarnya membaca pilkada DKI kali ini, bagaimana tidak ketika SARA menjadi senjata andalan. Bisa disimak dalam dua babak:

Pra Putaran Pertama: Dominasi pada soal ras dan agama

Fakta ada pasangan yang memang berasal dari ras yaang berbeda dan agamanya pun berbeda. Hal ini dieksplorasi secara masif, apalagi diperparah perilaku yang memiliki perbedaan ini suka blak-blakan kalau berbicara. Apa yang ia katakan bisa menjadi andalan pihak yang tidak suka untuk melakukan banyak hal. Tidak heran diputaran ini justru lebih getol soal agama dan penodaan agama daripada pemilu yang bermartabat dan demokrasi yang modern selain katrok dan mundur jauh ke belakang.

Pra Putaran II: Dominan soal dukungan primordialisme

Bagaimana tidak ketika mengemuka golongan ini berasal dari sini mendukung paslon ini, dan menilai paslon lain begini dan begini. Atau sekelompok pemuka agama atau kelompok etnis tertentu mendukung calon yang kebetulan beretnis dan agama berbeda. Entah ini sadar atau tidak menjadi lebih kuat dan terasa di putaran kedua ini, bukan yang pertama lalu.

Jakarta versus Sumpah Pemuda

Aneh dan lucu sebenarnya, kalau tidak terlalu kasar jika menyebut naif dan malu menyaksikan ini semua. Bagaimana hampir 90 tahun lalu pemuda bangsa ini sudah mengenal sumpah untuk satu Indonesia, eh malah kali ini “dikoyak-koyak” lagi, demi sebuah jabata gubernur. Apakah seperti ini demokrasi yang diagungagungkan itu? Kebebasan yang malah mundur jauh ke belakang? Menyatakan diri demokratis saja tapi masih berfikir sektarian, karena aku seagama, karena aku sama sukunya, karena aku sama etnisnya, benar salah aku dukung. Apakah seperti ini yang dikumandangkan pemuda era 1928 lalu? Ini sudah tahun 2000-an, orang luar sudah mikir mau ke Mars, eh masih saja mikir primordial dan sektarian.

Apakah akan lahir generasi dan barisan sakit hati kedua? Jika iya, kasihan bangsa ini, diisi dengan generasi cengeng yang melihat segala persoalan secara kanak-kanak. Berapa lama toh kekuasaan di dalam pemerintahan ini? Kan jelas dibatasi dua periode. Mengapa tidak menanti sepuluh tahun paling lama, tidak akan ada yang bisa menambah kog. Dukung sepanjang masih berjalan pada perundang-undangan dan kritik jika memang telah menyimpang.

Barisan sakit hati, sama juga dengan kanak-kanak.

Melihat perbedaan sebagai musuh. Padahal tidak demikian, berbeda bukan berarti musuh kog. Lihat saja bapak dan ibu kan beda bukan? Jika bisa memahami demikian, tentu akan bisa melihat demokrasi secara jernih dan benar. Tidak ada yang abadi, hanya sejenak “musuh” itu berkuasa kog.

Tidak berani kalah, hanya mikir menang. Benar bahwa hakikat politik adalah menang. Namanya bersaing tentu ada yang menang dan ada yang kalah, tidak ada yang seri di dalam politik. Pahami saja jika kali ini kalah, belum tentu besok juga akan kalah bukan?

Anak-anak hanya mikir menang dan enak saja, belum tahu kesulitan, perjuangan, dan adanya kekalahan atau sejenisnya. Jika demikian, bagaimana bangsa ini bisa bertumbuh menjadi bangsa yang besar?

Kritik dan kritis itu berbeda dengan waton sulaya,apapun yang dilakukan pejabat itu salah padahal tidak bisa menunjukkan salahnya, apalagi solusi, itu jelas barisan sakit hati. Jika kritik itu bisa menunjukkan mana yang benar, lebih baik, dan memberikan bantuan kemungkinan jalan keluar.

Kritik itu harus dan bahkan kewajiban baik pendukung ataupun yang tidak mendukung agar tidak menjadi pimpinan otoriter, namun jika benar dikatakan salah karena tidak sesuai keinginan, atau bukan yang didukung, itulah ciri kekerdilan jiwa berdemokrasi. Bedakan kritik dengan semua salah.

Energi bangsa ini sudah sangat besar tersedot pada hal yang tidak mendasar. Suksesi di dalam  alam demokrasi itu hal yang sangat wajar dan natural, tidak perlu sampai berlebihan bahkan menjelek-jelekan pihak lain agar kemenangan didapat. Kemenangan bisa diperoleh dengan elegan, sportif, dan beradab, bukan sebaliknya.

Jayalah Indonesia.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun