Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Reformasi Kebablasan pun Merobek Toleransi

5 Maret 2017   20:29 Diperbarui: 5 Maret 2017   20:43 855
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beberapa hari lalu ada rekan yang mengirimkan photo layar ponselnya yang berisi sebuah gambar yang membuat dahi ini mengernyit. Di sana ia mengisahkan adanya komentar atas sebuah status rekan. Rekan ini menceritakan kalau rekan yang beretnis Tionghoa ini berkisah dalam status pasti akan dikomentari oleh rekan lain yang itu-itu juga dengan sinis dan berlebihan menurut rekan ini.

Waktu 40 hari bapak, usai mengadakan Misa, kami mengundang tetangga yang beragama Muslim untuk kenduri. Pada tiga hari usai bapak meninggal dan tujuh hari meninggal, kegiatan ini tidak ada halangan dan hambatan sama sekali, kegiatan yang normal dan wajar. Hanya pada hari keempat puluh ini ada pernyataan, doanya tidak sampai karena bukan Muslim, itu justru oleh saudara sepupu sendiri, bukan oleh ahli agama atau tokoh agama di tempat saya.

Toleransi bukan berarti sinkretisme

Toleransi itu menghormati apapun yang menjadi keyakinan, ritual, dan tata cara agama lain tanpa perlu memaksakan kehendak dan menilai milik sendiri terbaik dan milik yang lain buruk. Tidak pula mencampuradukan iman dan agama sendiri dengan ajaran yang lain. Toleransi membiarkan dengan bebas apa yang diyakini dilakukan dengan semestinya, tanpa perlu menjelek-jelekan dan menyakiti pihak lain, sepanjang tidak ada yang menyimpang. Tentu berbeda dengan sinkretisme di mana semua yang dinilai baik di semua agama dijadikan satu. Tidak demikian tentunya.

Toleransi itu memang melukai

Bagi yang tidak siap dengan toleransi memang melukai karena merasa keyakinannya tereduksi. Sejatinya tidak demikian jika menyadari bahwa semuanya baik, kalau merasa miliknyanyang terbaik silakan asal tidak memaksakan yang berbeda untuk sama. Keberanian bersikap menang-menang memang tidak mudah karena dunia sudah dipenuhi dengan sikap menang kalah, tidak boleh pihak lain menang, hal inilah yang bisa membuat luka.

Toleransi itu menjaga perasaan pihak lain

Sepanjang bukan hal yang prinsip, soal Kitab Suci, dan keyakinan yang hakiki, tentu bukan hal yang perlu dipertentangkan dan melukai pihak lain. Membenarkan kesalahan memang kewajiban namun tentu tanpa perlu melukai pihak lain. Jika demikian, apa artinya persaudaraan?

Kebenaran adalah kebenaran

Tentu tidak bisa dibantah jika kebenaran itu adalah kebenaran. Kemarahan, pemaksaan kehendak dan intimidasi tidak bisa membuat terbuka mata batin untuk membuka kebenaran itu. Kebenaran justru bisa terlihat jika diberikan dengan hati pula. Pemaksaan, kekerasan, intimidasi justru membawa sikap antipati yang malah menjauhkan kebenaran itu sendiri.

Reformasi itu membebaskan bukan malah memaksakan kehendak

Kisah pertama tadi semua rekan satu kampus di era Orba akhir, jadi di sana tidak ada namanya etnis dipertentangkan terutama China, anak pesantren pun kuliah di yayasan katolik tanpa masalah, becanda dengan biasa dan tidak ada masalah yang timbul dari soal agama dan etnis. Becanda, bergurau, dan saling ejek dengan beragam etnis dan agama tidak menjadi alasan. Sedikit intermeso, di sebuah kota kini ada promo rumah makan yang memberikan potongan harga jika makan di sana dengan rekan yang beragama lain. lha jika demikian, saya dengan teman dari pesantren tiap hari dapat potongan harga karena kami sering main bareng bahkan masuk perpustakaan masjid juga tidak jadi masalah.Kembali ke tema, entah mengapa reformasi malah melahirkan generasi yang aneh dan ajaib seperti ini. Kebebasan dan perbedaan malah semakin menjadi barang langka, selain kebebasan yang menuju kepada hal yang buruk, seperti bebas mengutuk, bebas akan pelanggaran lalin, bebas menerobos lampu lalu lintas, bebas untuk seenak-enaknya memaki, dan memaksakan kehendak bagi yang lemah.

Reformasi malah melahirkan generasi arogan, radikal, dan ekstrimis

Atas nama kebebasan, sekehendak hati mengatakan uneg-uneg tanpa memikirkan bahwa itu menyinggung, jadi ingat sebuah komentar di K ini, yang menyatakan china dan kelompok minoritas paling suka pancasila dan nkri... semua tanpa huruf kapital yang bagi saya mau menunjukkan sebuah etnis, Pancasila, dan NKRI sebagai hal yang kecil, remeh, dan tidak penting. Lucunya negeri ini masih tetap berdasar Pancasila, namun ada yang berani mencaci sedang ia masih juga hidup, makan, mencari uang di negeri yang tidak ia katakan   dengan selayaknya. 

Atau yang identik sama dengan komentar di K juga, menulis Natal diartikan sebagai bentuk permintaan ucapan Natal, padahal sama sekali tidak ada paksaan, harapan untuk mendapatkan ucapan jika itu hanya basa-basi atau ucapan keterpaksaan, toh tidak mengurangi kualitas keimanan saya tentunya. Namun pernah ada yang berkomentar demikian. Arogan karena temannya banyak bisa menghujat, mengatakan ini itu sesuka hati, kadang juga belum tentu benar. Ekstrimis karena bisa memaksakan keyakinannya pada pihak lain dan menyatakan sebagai kebenaran, padahal belum tentu demikian.

Apa yang bisa dibangun?

Jika mengatakan sesuatu itu perlu dicermati, diingat, dan direnungkan apa akibatnya, apakah melukai orang lain atau tidak. Tidak semua orang sama dalam memaknai kalimat, ujaran, dan kata-kata orang. Paling mudah adalah apakah aku akan sakit hati atau tersinggung jika dikatakan seperti itu.

Apakah jaminan jika banyak teman itu sudah pasti benar? Hal ini bisa menjadi cerminan sehingga tidak memiliki perilaku yang seenaknya sendiri. Jika suatu saat menjadi kelompok yang tidak banyak teman, apa juga mau jika diperlakukan demikian.

Pendidikan, sekolah sudah jauh melenceng dengan masuknya politik dan pemaksaan kehendak oleh pihak-pihak tertentu. Revolusi mental sangat mendesak sehingga melahirkan manusia dan generasi muda Pancasila dan bukan generasi banyak teman semata.

Kesadaran bersama bahwa kuantitas bukan jaminan, namun kualitaslah yang membedakan. Buat apa banyak jika tidak memberikan gambaran kebaikan namun malah sebaliknya.

Artikel ini tidak bicara soal agama dan etnis, namun kisah mengenai pemaksaan dan pelecehan oleh kelompok lain, bisa terjadi di agama apapun dan etnis apapun juga. Jika berkenan membaca pakailah hati yang tenang dan kepala dingin sehingga tidak lahir caci maki. Kalau mau mencaci atau membela diri tidak proporsional, lebih baik tidak usah.

Jayalah Indonesia.

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun