Kisah pertama tadi semua rekan satu kampus di era Orba akhir, jadi di sana tidak ada namanya etnis dipertentangkan terutama China, anak pesantren pun kuliah di yayasan katolik tanpa masalah, becanda dengan biasa dan tidak ada masalah yang timbul dari soal agama dan etnis. Becanda, bergurau, dan saling ejek dengan beragam etnis dan agama tidak menjadi alasan. Sedikit intermeso, di sebuah kota kini ada promo rumah makan yang memberikan potongan harga jika makan di sana dengan rekan yang beragama lain. lha jika demikian, saya dengan teman dari pesantren tiap hari dapat potongan harga karena kami sering main bareng bahkan masuk perpustakaan masjid juga tidak jadi masalah.Kembali ke tema, entah mengapa reformasi malah melahirkan generasi yang aneh dan ajaib seperti ini. Kebebasan dan perbedaan malah semakin menjadi barang langka, selain kebebasan yang menuju kepada hal yang buruk, seperti bebas mengutuk, bebas akan pelanggaran lalin, bebas menerobos lampu lalu lintas, bebas untuk seenak-enaknya memaki, dan memaksakan kehendak bagi yang lemah.
Reformasi malah melahirkan generasi arogan, radikal, dan ekstrimis
Atas nama kebebasan, sekehendak hati mengatakan uneg-uneg tanpa memikirkan bahwa itu menyinggung, jadi ingat sebuah komentar di K ini, yang menyatakan china dan kelompok minoritas paling suka pancasila dan nkri... semua tanpa huruf kapital yang bagi saya mau menunjukkan sebuah etnis, Pancasila, dan NKRI sebagai hal yang kecil, remeh, dan tidak penting. Lucunya negeri ini masih tetap berdasar Pancasila, namun ada yang berani mencaci sedang ia masih juga hidup, makan, mencari uang di negeri yang tidak ia katakan  dengan selayaknya.Â
Atau yang identik sama dengan komentar di K juga, menulis Natal diartikan sebagai bentuk permintaan ucapan Natal, padahal sama sekali tidak ada paksaan, harapan untuk mendapatkan ucapan jika itu hanya basa-basi atau ucapan keterpaksaan, toh tidak mengurangi kualitas keimanan saya tentunya. Namun pernah ada yang berkomentar demikian. Arogan karena temannya banyak bisa menghujat, mengatakan ini itu sesuka hati, kadang juga belum tentu benar. Ekstrimis karena bisa memaksakan keyakinannya pada pihak lain dan menyatakan sebagai kebenaran, padahal belum tentu demikian.
Apa yang bisa dibangun?
Jika mengatakan sesuatu itu perlu dicermati, diingat, dan direnungkan apa akibatnya, apakah melukai orang lain atau tidak. Tidak semua orang sama dalam memaknai kalimat, ujaran, dan kata-kata orang. Paling mudah adalah apakah aku akan sakit hati atau tersinggung jika dikatakan seperti itu.
Apakah jaminan jika banyak teman itu sudah pasti benar? Hal ini bisa menjadi cerminan sehingga tidak memiliki perilaku yang seenaknya sendiri. Jika suatu saat menjadi kelompok yang tidak banyak teman, apa juga mau jika diperlakukan demikian.
Pendidikan, sekolah sudah jauh melenceng dengan masuknya politik dan pemaksaan kehendak oleh pihak-pihak tertentu. Revolusi mental sangat mendesak sehingga melahirkan manusia dan generasi muda Pancasila dan bukan generasi banyak teman semata.
Kesadaran bersama bahwa kuantitas bukan jaminan, namun kualitaslah yang membedakan. Buat apa banyak jika tidak memberikan gambaran kebaikan namun malah sebaliknya.
Artikel ini tidak bicara soal agama dan etnis, namun kisah mengenai pemaksaan dan pelecehan oleh kelompok lain, bisa terjadi di agama apapun dan etnis apapun juga. Jika berkenan membaca pakailah hati yang tenang dan kepala dingin sehingga tidak lahir caci maki. Kalau mau mencaci atau membela diri tidak proporsional, lebih baik tidak usah.
Jayalah Indonesia.