Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Martabat Guru, di Antara Sertifikat dan Kualitas

27 Februari 2017   16:53 Diperbarui: 28 Februari 2017   02:00 707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Martabat Guru,  di antara Sertifikat dan Kualitas

Beberapa waktu lalu ada kegiatan Pramuka di sekolah dasar dekat rumah. Hilir mudik mobil dengan pengemudi perempuan dan berseragam Pramuka. Guru yang masih muda rata-rata mengendarai motor dengan jaket klub bola luar negeri, tas punggung, dan jelas seragam Pramuka. Anak didik mereka disewakan coltL-300,atau angkutan dan angkudes, tidak ada guru yang bermobil itu “membawa” anak didiknya, motor hanya sendiri, demikian pula mobil, pengemudi dengan tas di samping atau bangku belakang.

Kisah lagi Iwan Fals, Oemar Bakrie hampir tidak ada lagi. Kisah di atas adalah guru sekolah dasar, belum lagi sekolah menengahnya. Gaya hidup guru seperti lagu itu sudah hampir hilang, tidak ada lagi guru yang bersepeda, mengempit tas dari kulit yang kotak dan jadul itu. Semua sudah berganti apalagi yang ibu guru. Tas keluaran toko terkenal atau pusat perbelanjaan bukan barang baru. Sepatu bermerk, baju atau kerudung berkelas telah menggantikan sepatu yang itu-itu saja atau baju seragam yang itu-itu juga. Semua berbeda. Tidak akan ketahuan sekarang di angkutan umum atau di pusat perbelanjaan, susah menemukan mereka di pasar kini, bahwa itu guru atau karyawati atau pegawai lainnya. Mereka telah menjelma menjadi pegawai level yang berbeda.

Martabat Guru.

Ada dua jenis martabat guru yang bisa menjadi gambaran dan identitas guru. Pertama,pemberian dari komunitas, seperti negara atau lingkungan. Hal ini salah satunya ditunjukkan dengan adanya sertifikasi yang mengubah penampilan guru sehingga bisa bersaing dengan karyawati bank swasta atau BUMN sekalipun. Sejak lama sebenarnya negara dan masyarakat sudah memberi martabat tinggi pada sosok guru. Bagaimana guru bisa menjadi pusat banyak hal terutama di desa-desa. Bisa dimintai nasihat soal keluarga, pemerintahan, hingga melibatkan di dalam kepanitiaan dan organisasi di desa. Artinya bahwa dengan menjadi guru telah mendapatkan tiket  untuk mendapatkan kepercayaan, martabat, dan termasuk penghormatan dari komunitasnya.

Kedua,martabat guru diperoleh karena memang pribadi dan profesi guru yang bersangkutan berkualitas. Tidak semua orang yang menjadi guru akan mendapatkan martabat yang sama. Satu guru belum tentu mendapatkan penghormatan, martabat, atau kepercayaan yang sama. Tergantung dari kualitas dirinya di dalam menjalankan profesi seorang guru. Sertifikasi idenya ke sana, bukan hanya soal penampilan dan gaya ragawi sosok guru yang hendak disasar pada hakikatnya.

Martabat seseorang termasuk guru sebenarnya bukan soal pakaian atau asesoris bermerk yang ia kenakan. Bagaimana ia menghantar anak didik mereka menjadi lebih baik. Lusuhnya baju bukan karena malah mencuci dan menyeterika, namun karena keterbatasan finansial bukan halangan seorang guru untuk memperoleh respek dari peserta didik dan lingkungannya. Apa yang membuat lingkungan dan murid itu respek?

Mengajarkan dirinya sendiri. Apa yang ia katakan, ia ajarkan, ia ujarkan itu sama dengan apa yang ia hidupi. Contoh mengajarkan tepat waktu, guru juga tidak boleh terlambat. Misalnya terlambat karena ada tamu atau atasan misalnya katakan dengan terus terang dan meminta maaf. Meminta anak didik untuk tekun membaca, dengan cara dirinya sendiri juga telah memulai dengan membaca banyak hal.

Mencintai ilmu pengetahuan. Memberikan terus menerus bisa membuat cadangan guru menipis. Apa yang bisa dilakukan adalah mencintai ilmu sehingga banyak belajar dan belajar. Selalu memiliki hal baru untuk dibagikan kepada generasi berikutnya. Bagaimana mungkin guru mengajak muridnya mencintai ilmu ketika ia sendiri ditanya menjawab dengan bentakan sebagai sarana ngeles bahwa ia tidak bisa menjawab?

Manusia pembelajar.Guru tidak hanya berhenti pada bangku kuliah belajarnya. Ia selalu belajar dan belajar sehingga tidak kurang stok atau kehabisan bekal. Pembekalan, seminar, kegiatan kelompok guru sangat bermanfaat, jangan hanya pamer dan membandingkan mobil atau kulkasnya, namun bagaimana mereka saling membagikan pengalaman, ilmu pengetahuan, dan cara-cara menghadapi anak didik.

Manusia kuat dan tabah.Tidak ada profesi seseksi profesi guru, bagaimana tuntutan banyak pihak diterapkan. Kalau salah sedikit saja, jangan tanya berjuta tanggapan hadir, namun prestasi setinggu langit masih kurang. Jika tidak kuat an tabah bisa stres dan melakukan kekerasan demi kekerasan kepada peserta didik. Coba bagaimana ketika ada guru mencubit murid? Geger, padahal orang tua menggampar anaknya biasanya saja. Padahal guru itu bukan orang tuanya kandung yang bisa saja jengkel dan berlebihan dalam bersikap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun