Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tiada Sosok Manusia dalam Diri Guru

13 Februari 2017   06:46 Diperbarui: 13 Februari 2017   08:13 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiada Sosok Manusia dalam Diri Guru*

Maaf beribu maaf bagi para guru, bukan bermaksud menghina, merendahkan, dan mencemooh sosok guru. Sama sekali tidak, saya pernah jadi guru, keluarga banyak yang menjadi pendidik, dan teman tidak sedikit yang mengabdikan diri menjadi guru. Istilah ini  juga baru saya pahami setelah membaca buku. Pengalaman sudah memberikan bahan namun tidak tahu, bahwa hal ini ternyata memang demikian adanya. Henry Adams dikutip Waller, dan dikutip ulang oleh Doni Kusuma menyatakan, no man can be a school master for ten years and remain fit for anything else.Pernyataan yang bisa diterjemahkan bebas bahwa tidak akan ada guru yang berkembang kepribadiannya sesuai dengan usianya, kala sudah mengajar lebih dari sepuluh tahun.

Pengalaman Lapangan

Pertama, dulu, saya menyelesaikan strata satu bersamaan dengan guru-guru yang melakukan kuliah untuk mendapatkan gelar kesarjanaan. Jelas dinamikanya berbeda, namun pola pikir, cara kerja, dan model berdiskusi dan berinteraksi jauh berbeda dengan kuliahan reguler. Bahkan ada yang kolokan, ngambegan,dan model marahnya, iren,persis anak sekolah dasar.

Kedua, waktu sejenak menjadi guru, sekolah saya berkarya merupakan sekolah gabungan TK, SD, dan SMP. Seorang rekan guru mengatakan kalau pola pikir, cara berdiskusi, dan menjawab persoalan guru SD itu mirip muridnya, bahkan rekan ini juga mengatakan di rumah pun demikian, karena memang istrinya adalah guru sekolah dasar.

Pendidikan dan Studi Psikologi di Perguruan Tinggi Pendidikan

Sama sekali tidak pernah dikatakan dan dinyatakan model ini, entah dosen, pendidik, atau gurunya juga tidak tahu, tidak sadar, atau khawatir para murid atau mahasiswanya tidak lagi bersemangat, namun seharusnya tetap dikatakan, diajarkan, dan dikupas kejadian yang akan dialami para guru di kemudian hari. Memang akan lebih sering terjadi pada guru awal mulai PAUD kini atau TK dulu dan SD. Jika guru sekolah menengah agak berbeda apa yang dialami. Pendekatan, pola pikir, dan menyelesaikan masalah di sekolah menengah tidak sekomplek sekolah awal. Penaratan, pendampingan guru, dan rapat atau seminar juga sama sekali tidak pernah disinggung hal ini.

Mengapa tidak nampak sosok manusia?

Hakikat Kinerja guru terutama guru awal berpotensi melanggengkan kebiasaan, atau tetapnya sikap dan pemikiran kekanak-kanakan. Seumpama orang mengajarkan cara membuka pintu agar orang lain bisa memasuki pintu tersebut, guru akan mengulang terus mengajarkan membuka pintu tanpa pernah memasukinya. Itu terus menerus hingga ia pensiun, pada kisaran tiga puluh tahunan bisa dibayangkan apa yang terjadi. Guru yang mengajarkan kepada siswa-siswinya yang masih belum dewasa mau tidak mau mempengaruhi pertumbuhan mereka. Berhari-hari, hingga bertahun-tahun paling tidak sepertiga hidup hariannya bersama dengan anak-anak. Mengajari terus menerus hal yang sama.

Keterbatasan waktu  belajar untuk diri sendiri.

Sama sekali juga tidak pernah diajarkan siapkan sumur hidupmu yang akan kamu alirkan kepada muridmu. Sama sekali tidak pernah dikatakan. Memang sekali satu dosen yang mengatakan, penuhi keranjangmu dengan ilmu untuk kamu bagikan kepada generasi berikut. Ternyata keranjang saja tidak cukup, namun perlu sumur. Hakikat mendidik adalah memberi. Memberi dan memberi, jika apa yang diberikan itu terbatas, apakah tidak akan mengikis diri sendiri yang berujung pada sakit psikosomatis, sakit perut, gatal-gatal, maag,sakit kepala akut, karena kehabisan bekal. Membaca dan menuliskan artikel ini baru paham mengapa guru dulu tidak boleh mengidap TBC, selain menghadapi kenakalan anak, juga karena akan digerogoti karena selalu memberi ini.

Apa yang bisa dilakukan?

Guru harus menyadari bahwa ia bukan manusia super, yang perlu waktu istirahat, waktu untuk penyegaran kembali, bisa berupa refresing, peneguhan dengan saling bertukar pengalaman dan informasi terbaru. Apa yang terjadi selama ini malah soal kepsek atau yayasan yang tidak adil, saling bertukar informasi soal anak dan tas atau katering pernikahan, yang sedikit banyak menambag\h beban pikiran  jika tidak bisa sama dengan rekannya.

Pemerintah menyediakan kesempatan kepada guru jangan hanya menuntut saja, apalagi ide full day school,segala. Kesempatan untuk menimba ilmu lagi, mendidik anak-anaknya, dan juga menghirup udara segar. Guru tidak pernah ada cuti sebagaimana pegawai lain, ingat libur anak tidak sama dengan libur guru. Siapa yang mengisi kelas ketika ada yang cuti? Guru pengganti akan mudah diperoleh.

Administrasi sekolah jangan lagi sepenuhnya atau guru masih diberi tambahan tugas ini itu yang memberatkan. Usahakan ada tenaga khusus untuk mengurus adminstrasi dan kertas yang sering tidak juga diaplikasikan di kelas. Bagaimana mau mengajak anak didik berinovasi kala guru saja inovasi itu apa tidak paham, karena tidak ada kesempatan.

Pendidikan keguruan perlu mendapatkan perhatian serius. Konsekuensi-konsekuensi yang berat sama sekali tidak pernah dikatakan dan dinyatakan, karena tidak tahu, juga karena memang perhatian terhadap guru sangat lemah. Memang jarang guru yang berpenyakit akut dan menakutkan sebagaimana profesi lain, tidak ada pula guru yang post power syndrom,namun ternyata pola pikir kanak-kanak dan bisa membuat orang sakit namun jarang diketemukan sakitnya oleh medis terjadi.

Pendidikan berkualitas bangsa juga ikut naik mutunya. Pendidikan terabaikan jangan salahkan jika orang saling memanfaatkan dan menjadikan pihak lain sebagai obyek semata.

Jayalah Indonesia!

Salam

*Kutipan dalam sebuah buku

Sumber Inspirasi: Pendidik Karakter Di Zaman Keblinger

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun