Tidak heran pula kalau ada bule begitu gegap gempita mengajak berphoto, kini mulai juga merambah tergila-gila dengan apa yang berasal dari Korea, paling tidak film, atau Timur Tengah dengan segala kelengkapannya, termasuk orang-orangnya.
Tidak anti asing, namun selektif dan ada batasan
Bangsa ini kaya, sangat kaya, lihat saja ribuan pulau, ratusan bahasa, tarian, dan lainnya yang sangat banyak. Boleh memang belajar, melihat yang asing, namun bukan berarti bahwa yang asing itu tentu lebih baik, cocok bagi bangsa dan budaya Indonesia. Budaya asing memperkaya bukan malah mengusir sehingga kita menjadi tamu di negeri sendiri.
Kebanggaan itu harus namun tentu juga berkembang bersama dengan yang lain. Era global ini mau semua negara seperti kampung sangat besar yang tidak bisa lepas dari pengaruh yang lain. Tidak bisa menyalahkan pihak lain atas keterpurukan, keadaan, atau rusaknya kita, namun bagaimana sikap kita sendiri menghadapi itu semua. Mosok cangkul saja harus import, tentu bukan salah yang mengeksport namun mengapa ada yang mendatangkan ke sini, di sinilah persoalannya.
Negara kuat atau lemah itu tergantung diri kita sendiri. Bagaimana mau memperkuat kala di dalam negara sendiri saling cakar, saling hina, saling bermusuhan, dan sering sayangnya hanya karena hal yang sepele, bukan hal  yang mendasar. Tentu menjadi makanan empuk bagi pihak-pihak yang menginginkan kekayaan negeri kita yang melimpah ini.
Salah satu jati diri bangsa adalah Bahasa Indonesia yang sudah dinyatakan dalam ikrar Sumpah Pemuda sejak 1928, mengapa malah kini oleh orang-orang yang memiliki pengaruh malah disingkirkan sendiri? Apakah jika berbahasa asing itu meningkatkan kualitas diri? Belum tentu juga kog.
Jayalah Indonesia!
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H