Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Patrialis Akbar Korupsi, Tidak Mengagetkan

28 Januari 2017   13:48 Diperbarui: 28 Januari 2017   14:58 1145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Patrialis Akbar Korupsi, Tidak Mengagetkan

Banyak ulasan soal mengapa PA korupsi, soal siapa yang memilih dan mengangkat pun dikupas. Latar belakang sebagai politikus tidak lepas dari kulitan mengenai PA tertangkap basah sedang melakukan transaksi. Ada juga yang mengupas mengenai budaya korupsi yang tidak lepas dari mall, restoran kelas atas, golf, dan tidak jarang perempuan yang jauh lebih muda dari pada istri sah tersangka. Tidak mengagetkan bukan soal latar belakang atau mengapa korupsi, namun apa selanjutnya?

KPK telah bekerja keras, OTT demi OTT, penyadapan demi penyadapan, dari pusat hingga daerah, dari MK hingga level kabupaten, DPR, DPR-D, kementerian, hanya masih aman dan belum tersentuh adalah istana, tapi apakah itu karena memang bersih? Jelas tidak, dan sama sekali bukan demikian, hanya menjaga agar tidak terjadi riak yang menjadi tsunami, siapa pelakunya? Sama sekali belum bisa dikatakan dan bisa saja siapapun.

Mengapa seolah semua lahan adalah ladang korup?

Sikap yang ada. Bagaimana ramai menghujat, menganalisis ini itu, latar belakang, kebiasaan, kekayaan, namun dua tiga bulan lupa. Mana lagi kisah penyitaan harta Gayus, Nazarudin, atau rekan-rekannya. Semua sudah dilupakan. Hanya hangat-hangat  tahu ayam. Coba pemiskinan dan hukuman yang sangat berat ditimpakan, akan malu dan tidak lagi mengulangingya lagi. Mengapa istri bupati mengantre usai suaminya dipenjara? Sama sekali tidak takut dan tidak jera, bahkan anaknya pun ikut di dalam permainan yang sama. Efek jera itu penting.

Korupsi belum dianggap memalukan semisal maling ayam, atau sendal di rumah tetangga. Ketangkap tangan pun masih dinilai sebagai apes atau cobaan dari Tuhan. Mana ada maling ayam berani bawa-bawa Tuhan kalau ketangkap, kalau tidak mau mulutnya disobek-sobek oleh amuk massa. Koruptor maling berdasi yang masih punya kedudukan.

Selama ini berhenti pada dua pihak, penyuap dan yang disuap jika itu penyuapan, apakah cukup demikian? Sama sekali tidak. Apalagi jika seperti hakim MK, jika AM itu soal perselisihan pilkada, bagaimana rantai panjang akibat yang ditimbulkannya, sama sekali tidak pernah disentuh, dipikirkan, dan diselesaikan dengan menyeluruh. Jika kepala daerah itu kalah dan menyuap jadi menang, apa yang akan terjadi? Mendustai seluruh daerah itu, bagaimana jual beli jabatan karena mau mencari balik modal, tidak akan mengkin pejabat demikian berani teriak dan menegakkan antikorupsi. Penyelesainnya sangat biasa belum keseluruhan diselesaikan. Kalau menyuap demi sebuah pasal atau UU, bagaimana implikasinya?

Mengerikan adalah ketika itu hakim apalagi hakim agung, hakim konstitusi, dan jajarannya. Kualitasnya dipertanyakan soal rekruitmen, soal latar belakang, soal partisipan atau anggota bahkan petinggi parpol, sejatinya kualitas pribadinya jelas. Bagaimana revolusi mental harus berjalan dan bergegas, sudah sangat terlambat selama ini tetap saja masih banyak maling berdasi yang berkeliaran.

LHKPN, wajib bukan anjuran, sanksi tegas apa jika tidak melaporkan, jika laporan tidak sesuai dengan fakta, misalnya digugurkan jabatannya dan didenda sekian kali lipat dari yang dipalsukan. Contoh saja mengambil barang di pusat perbelanjaan berapa kali lipat pembayaran dari nilai yang dicolong atau kemplang.

Sikap mental malu jika memiliki kekayaan di luar kewajaran dan lebih dari kepantasan atas penghasilan. Mosok penghasilan sepuluh juta per bulan bisa memiliki mobil belasan, hotel, rs, atau rumah mewah berharga milyardan. Hal ini  berbeda dengan bangsa ini yang masih menghormati kekayaan entah dari mana asalnya. Tidak malu ke kantor dengan mobil ratusan juta padahal hanya pegawai rendahan dan biasa saja.

Sanksi sosial yang lebih keras maling berdasi. Selama ini kejamnya hukum pada maling ayam jauh lebih keras dan lebih memalukan. Bagaimana koruptor masih senyum-senyum bak selebritas padahal jelas-jelas maling. Bagaimana tidak penghormatan masih ada, pembela berderet-deret pasang badan, dan hukuman pidanapun begitu-begitu saja.

Apa yang perlu dilakukan? Hukum tegas dan tidak tebang pilih agar bisa menyelesaikan budaya maling tidak makin merajalela. Ini sudah darurat, bukan malah diperlemah dengan melemahkan KPK.

Pendidikan. Bagaimana menghargai proses dan prestasi atas jerih lelah bukan semata hasil baik entah asalnya. Pendidikan berkontribusi besar karena suap dan nilai abal-abal membuat anak tidak mau kerja keras yang penting hasil bagus, bocoran,  beli soal, suap, dan sebagainya juga melimpah di sekolah.

Paham kemiskinan bukan memalukan kalau memang itu sudah kehendak Tuhan. Penghormatan akan kekayaan dan melupakan asal usul membuat orang menggunakan segala cara yang penting kaya. Kekayaan yang tidak jelas itu memalukan.

Malu jika tertangkap tangan maling apapun itu termasuk terlambat masuk kerja, masuk sekolah, atau tidak mengerjakan PR, hal ini menumpuk-numpuk hingga pada saat dewasa maling pun tidak lagi malu.

Penegakan hukum apapun konsekuensinya, mana khabar sekretaris MA? Mana khabar pengguna surat yang membuat hakim MK harus mundur, mana-mana yang lain yang jelas-jelas di depan mata maling tetap melenggang.

Prestasi bukan semata kontroversi yang menjadi jaminan orang mendapatkan tempat terhormat. Dengan sangat menyesal, kita saksikan bahwa lebih banyak di elit itu banyak yang bonyok dan bosok dari pada yang baik dan menjanjikan.

Tidak kaget kalau ada pejabat yang sudah ngantre atau sedang di dalam pantauan KPK, Polri, atau Kejaksaan lagi, tabiat demikian masih menjadi gaya hidup petinggi negeri ini. Apakah mau terus dibiarkan saja?

Jayalah Indonesia!

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun