Apa yang perlu dilakukan? Hukum tegas dan tidak tebang pilih agar bisa menyelesaikan budaya maling tidak makin merajalela. Ini sudah darurat, bukan malah diperlemah dengan melemahkan KPK.
Pendidikan. Bagaimana menghargai proses dan prestasi atas jerih lelah bukan semata hasil baik entah asalnya. Pendidikan berkontribusi besar karena suap dan nilai abal-abal membuat anak tidak mau kerja keras yang penting hasil bagus, bocoran, Â beli soal, suap, dan sebagainya juga melimpah di sekolah.
Paham kemiskinan bukan memalukan kalau memang itu sudah kehendak Tuhan. Penghormatan akan kekayaan dan melupakan asal usul membuat orang menggunakan segala cara yang penting kaya. Kekayaan yang tidak jelas itu memalukan.
Malu jika tertangkap tangan maling apapun itu termasuk terlambat masuk kerja, masuk sekolah, atau tidak mengerjakan PR, hal ini menumpuk-numpuk hingga pada saat dewasa maling pun tidak lagi malu.
Penegakan hukum apapun konsekuensinya, mana khabar sekretaris MA? Mana khabar pengguna surat yang membuat hakim MK harus mundur, mana-mana yang lain yang jelas-jelas di depan mata maling tetap melenggang.
Prestasi bukan semata kontroversi yang menjadi jaminan orang mendapatkan tempat terhormat. Dengan sangat menyesal, kita saksikan bahwa lebih banyak di elit itu banyak yang bonyok dan bosok dari pada yang baik dan menjanjikan.
Tidak kaget kalau ada pejabat yang sudah ngantre atau sedang di dalam pantauan KPK, Polri, atau Kejaksaan lagi, tabiat demikian masih menjadi gaya hidup petinggi negeri ini. Apakah mau terus dibiarkan saja?
Jayalah Indonesia!
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H