Saat bebenah, tanpa sengaja menemukan berkas waktu menjadi penjaga UAN. Di sana dalam salah satu point yang sebagai tuntutan sumpah dan janji adalah menjaga kerahasiaan apapun. Dengan kalimat sebagai berikut:
Tidak akan memberitaukan maupun/menyampaikan atau membocorkan kepada siapapun segala sesuatu yang telah saya ketahui dan saya kerjakan dalam melaksanakan tugas tersebut di atas dengan cara apapun, baik langsung maupun tidak langsung.
Apa yang “dituntutkan” itu sebenarnya benar dan baik sepanjang memang demikian adanya. Saya memang hanya pengawas, memang hal yang sama terjadi untuk panitia, pembuat soal, dan korektor. Apa yang janggal?
Surat pernyataan ini disodorkan oleh panitia dalam bentuk jadi, mau tidak mau harus menyetujui dan menandatanganinya. Apapun yang terjadi sudah terikat dengan pernyataan yang dibuat. Selengkapnya bisa dilihat dalam .Kedua, kerahasiaan itu pada soal, bukan proses, dalam arti jika ada di dalam proses tersebut ada kecurangan akan dijerat oleh “penguasa” dengan dalih surat pernyataan ini, karena dikatakan apapun dan kepada siapapun.
Ketiga, memang ini kecurigaan dan lebih cenderung bersifat dugaan berdasarkan kebiasaan, apa yang terjadi, bahwa kejujuran dan sikap yang tidak baik ditutupi dengan “tuntutan” ini. Hal ini bisa diakses dengan mudah, bagaimana media bisa menyajikan anak didik sedang berdiskusi dengan riuh rendah tanpa adanya teguran.
Keempat, kerahasiaan tidak dalam arti yang negatif dalam arti bahwa segala bentuk kecurangan baik panitia, guru sekolah, atau pihak lain itu seharusnya gugur dari “jerat” surat pernyataan. Melindungi kerahasiaan itu pada hal yang positif bukan sebaliknya.
Kelima, kalau “tuntutan” ini ada untuk pembuat soal atau panitia yang ada akses untuk melihat soal sebelum dibagikan, bisa dimengerti, namun untuk pengawas? Sama sekali tidak relevan. Apalagi dituntut untuk merahasiakan apa yang diketahui, aneh dan ajaib.
Hal ini terus terjadi dan terulang. Tabiat yang akhirnya menjadi karakter, membedakan baik dan buruk saja tidak mampu dengan otomatis. Jangan heran ketika menjadi pejabat dan penguasa tidak lagi merasa bersalah dan berdosa maling dan malah mengatakan musibah bahkan cobaan dari Tuhan.
Lembaga pedidikan dan sistem pendidikan saja sudah demikian buruk, bagaimana bisa berharap generasi muda bisa memiliki idealisme dan pola ppikir positif dan jernih. Hal ini tidak berhenti pada surat ini saja, nanti pada berita acara usai ujian akan ada sampul yang menutup dan ada segelnya pun masih bisa dimainkan dengan berbagai-bagai dalih.
Pertama, dalam tulisan keadaan dan kondisi ruang, harus ditulis, lancar tanpa persoalan, meskipun ribut dan kerja sama. Artinya, kondisipun sesuai kehendak “penguasa” setempat. Ini saya alami ketika mau menuliskan ramai terkendali, pengawas lain menyatakan tidak berani, sedang pada hari berikut dengan partner lain, kompak dan menuliskan yang sama soal memang ruang tersebut ramai.
Kedua, segel biasanya tidak boleh ditutup dengan alasan akan dicek lagi apakah sudah lengkap dan urut padahal jelas sangat tidak mungkin tidak lengkap dan urut di mana pengawas toh juga orang dewasa, berpendidikan, dan tentu pengalaman. Bisa saja bahwa murid yang dipridiksikan tidak akan bagus nilainya akan dibuatkan oleh pihak panitia. Jadi tidak heran hasil pendidikan begini-begini saja.
Mengapa para guru tega dan sampai hati membuat surat pernyataan seperti ini? Wahai para guru lepaskan diri dari politik dan membebani pendidikan dengan cara instan. Pendidikan adalah proses yang perlu waktu, perjuangan, dan paling hakiki adalah kejujuran. Hasil akhir itu hanya salah satu bagian bukan segala-galanya.
Sepakat bahwa UAN adalah rahasia, namun bukan itu yang menjadi dasar untuk mengikat bahwa semua harus dirahasiakan. Sama sekali bukan rahasia apalagi bisa dituntut di muka hukum jika itu adalah kecurangan, ketidakjujuran. Sangat bertolak belakang dengan apa yang dituliskan dan ditandangani murid yang menyatakan saya mengerjakan dengan jujur.
Ketidakjujuran bukan pada siswa dan guru namun pada pihak birokrasi yang mengejar kuantitas kelulusan bukan kualitas. Jajaran diknas yang harus bertobat dan jujur jangan menuntut sedang mereka sendiri tidak melakukannya sama sekali.
Kekacauan demi kekacauan termasuk berita hoaxadalah buah pendidikan yang gagal karena membedakan baik dan benar serta buruk dan salah saja tergantung banyaknya massa yang mendukung. Pendidikan tidak mengantar pada anak didik berhasil memiliki buah pikir kritis, cerdas, dan bernas, namun mudah, gampang, dan banyak teman semata.
Apakah akan demikian terus dunia pendidikan kita? Paling tidak ada perubahan dan itu perlu waktu yang lama jika tidak ada kehendak baik bersama. Pendidikan bukan semata hasil, namun proses dan kejujuran yang baik untuk membawa anak didik yang bermartabat dan memiliki integritas.
Jayalah Indonesiaku!
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H