Pilkada Salatiga, Spanduk yang Tidak Seimbang, Siapa Menang?
Bekas Pasar Sapi Salatiga yang sedang dalam rangka pembangunan di pagar seng menjadi tempat “kampanye” yang murah meriah. Bukan saja warga Salatiga yang bisa melihat, membaca, dan tersenyum menyaksikannya. Jalur utama jalan nasional yang menghubungkan dua kota terbesar di Jateng, antara Solo-Semarang, tentu sangat strategis. Perempatan menuju tempat wisata, dan pusat kota, tidak heran menjadi pilihan timses dan paslon menempatkan jargonnya dalam spanduk di sana.
Menarik adalah apa yang dipajang pasangan petahanan yang memiliki nomor urut satu, memang tidak ada di sini, namun bisa dibaca di sekitarnya, mereka yang didukung jauh lebih banyak parpol mengusung jargon, “TERBUKTI SALATIGA KONDUSIF”, dikepung paslon nomor dua dengan slogan beraneka macam. Didahului I love (lambang hati) gambar kumis gambaran paslon nomor dua dan diikuti kata yang sangat menjurus. Pilih yang tidak main money politic,stop jual beli jabatan, awas paham radikal, stop korupsi, dan semacamnya.
Apa artinya? “Perang” kata-kata yang sangat tidak seimbang yang belum tentu mencerminkan hasil akhir pilwakot. Pilihan nomor satu yang mengedepankan Salatiga kondusif sebenarnya bukan sebentuk prestasi atau usaha yang bisa dibanggakan. Mengapa? Karena sejak dulu juga demiikian Salatiga. Kondusif itu keadaan yang memang sudah lama, bukan karena kepemimpinan duet yang mau memimpin kedua kalinya.
Apa yang dituliskan paslon nomor dua bisa dipahami sepanjang apa yang terjadi di Salatiga memang demikian adanya. Namun apakah paslon nomor dua tidak terlibat? Apalagi calon walikotanya juga birokrat yang apakah terjamin kebersihannya sebagaimana dituliskannya? Soal jual beli jabatan yang di mana-mana toh demikian faktanya. Jika “tuduhan” itu diarahkan ke paslon rival? Apa iya, dia juga bersih dan tidak terlibat? Termasuk korupsi dan soal minimarket yang marak?
Pilkada termasuk juga nantinya pilpres masih belum beranjak dari menjatuhkan rival dan mengatakan akan lebih ini itu. Namun sejatinya belum tentu juga bisa melakukan. Apalagi jika “penantang” itu adalah birokrat yang mau tidak mau adalah bawahan langsung dari pejabat yang diajaknya “berduel.”
Rakyat jelas makin cerdas, kritis, tahu mana yang berhasil, mana yang hanya asal-asalan. Tidak perlu menjual titik lemah lawan namun berikan saja visi dan misi yang jelas baik dan demi kemajuan serta kesejahteraan masyarakat.
Pembangunan, sama sekali tidak ada pembangunan fisik yang menyolok di Salatiga, hal ini bisa menjadi bahan kampanye yang baik. Bongkar pasang trotoar dan gapura jelas terlihat sepanjang lima tahun itu bisa dua tiga kali. Bukan soal pejabat lama yang membongkar pasang, namun katakan pembagunan yang jelas, terarah, terprogram, dan berdayaguna, tentu lebih elok dan bijaksana sebagai calon pemimpin.
Pelayanan RSU yang amburadul dan terkenal jelek. Hal ini sangat tenar di sekitaran Salatiga lamanya penanganan dan ternyata tidak tersentuh oleh paslon, artinya yang menyangkut hajat hidup rakyat sama sekali tidak diketahui “elit” yang katanya abdi masyarakat itu.
Lalin jalan Jenderal Sudirman yang makin kacau balau. Pembuatan jalan searah tanpa adanya penataan kawasan dan parkir, malah menambah lahan parkir saja bukan membuat jalan makin rapi dan teratur. Malah lebih parah motor bisa berjalan dua arah tanpa kejelasan, bahkan di jalur lambat sebelah kanan pun dipakai pemotor ke arah utara, bisa juga lewat jalan belakang pasar, dalam shoping yang artinya pemotor bisa empat jalur melawan arus seolah sahih. Padahal ujungnya adalah rumah dinas walikota, mosok tidak mellihat hal ini? atau itu dianggap wajar saja?
Jalur sepeda yang mengambil arus utama jalur jalan raya, artinya mempersempit lahan satu arah tertentu, yang belum lama dibuat sudah hilang lagi, artinya bahwa hal ini pemborosan, meskipun tidak besar namun sama juga bongkar pasang gapura dan trotoar yang terus terjadi.