Negara ini sudah 70 tahun lebih merdeka. Silih berganti pemimpin, namun selalu saja seperti ini. Dulu, di dalam dunia pendidikan sering terdengar ganti menteri ganti buku atau kurikulum. Apalagi masa di mana demokrasi hingga ke daerah dan ada ratu dan raja kecil.
Melihat perselisihan, rebutan benar soal KJP, KIP, dan BLT yang mau dihidupkan lagi, makin memperkukuh bahwa masih alam pikir lama di mana ganti  pejabat ya ganti kebijakan. Lebih parah lagi daerah di mana jauh dari pantauan media, bisa saja pejabat diganti karena beda pilihan politik pas pilkada, memasukan timses sedang kualitas, kemampuan antah barantah, jual beli jabatan untuk balikan modal tidak bisa dipungkiri. Mengapa demikian?
Pejabat, kada itu segala-galanya. Tidak heran karena sudah merasa hebat, paling benar, paling pintar, dan paling lainnya, melihat ide pendahulunya buruk dan dibuang. Obyektif tidak demikian, toh pasti ada baiknya, meskipun sedikit saja. Semua dirombak dan itu pun belum tentu lebih baik. Tentu lebih bijak dan bermanfaat jika melanjutkan dan menyempurnakan yang sudah ada bukan merombak. Tidak heran selalu saja jalan di tempat.
Mentalitas terabas dan abai akan evaluasi dan refleksi. Salah satu sisi potong kompas, tidak mau erja keras masih diperparah tidak mau mengadakan evaluasi. Tidak heran tidak maju-maju, karena kalau ide, pembangunan, kebijakan pihak lain pasti salah dan buruk, sedangkan ide sendiri dan gagasan kelompoknya pasti lebih baik dan benar. Akibatnya jelas saja tidak beranjak dan masih jalan di tempat. Jika Jakarta saja begitu, apalagi daerah.
Lemah visi dan misi, cerdas mengritik. Lihat saja bagaimana pemimpin daerah itu sama sekali tidak tahu mau apa dengan rakyatnya, daerahnya, dan pokoknya kepala, tidak heran mereka gagap ketika menjabat dan akhirnya masuk bui. Pas kampanye jika ada kepala daerah lama yang nyalon dijadikan bahan bulan-bulanan. Â Bisanya melihat kerja orang lain yang bolong, tanpa memikirkan untuk menambalnya, namun malah sering lebih parah.
Pemborosan, dobel anggaran seolah biasa jadinya benar membenarkan yang biasa bukan membiasakan yang benar.Ini soal tanggung jawab yang rendah dan mental seenaknya sendiri. Prof. Koentjaraningrat sudah mengatakan ini puluhan tahun lalu, dan masih saja dipelihara dengan bangga. Kalau bisa dipersulit mengapa dipermudah termasuk dalam membenarkan yang biasa ini. susah diajak beranjak, tidak jarang malah dimusuhi.
Sistem belum bekerja namun masih pejabatnya. Bangsa ini masih model pra Boedi Oetomo, di mana menurut pemimpin, padahal abad sudah berganti tapi mentalitas masih sama. Idealnya adalah sistem yang bekerja. Jika demikian, siapapun pemimpinnya semua berjalan seperti biasa, perbaikan dan evaluasi iya dan itu harus, bukan bongkar pasang apalagi trial and error.Ini bangsa bukan laboratorium.
Sikap rendah hati masih rendah. Rendah hati dan terbuka untuk melihat orang lain juga memiliki kekuatan selain kelemahan masih kuat di dalam diri anak bangsa ini yang mendapatkan kepercayaan. Tidak heran program sebagus apapun akan dijadikan polemik dan lahan menjatuhkan. Ini berkaitan dengan sikap mental yang memang demikian adanya.
Apa yang perlu dilakukan?
Revolusi mental terukur dan jelas mau apa dengan sistem pemerintahan. Sikap mendua dan terlalu banyak omong dari pada kerja dewan sangat mengganggu jalannya pemerintahan, baik pusat maupun daerah. Selama ini dewan masih saja jadi beban negara dengan kemalasannya namun mulutnya luar biasa besar, dan itu makan anggaran buta.
Pendidikan yang jelas, terarah, dan lepas kepentingan, politik, ekonomi, agama,  dan apapun. Biarkan pendidikan untuk mendidik anak bangsa yang berkarakter di dalam bingkai NKRI dan Pancasila, bukan yang lain. Selama ini  pendidikan ditarik-tarik politik, golongan, dan akhir-akhir ini ekonomi.