Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mendikbud, Sekolah Seharian serta Guru Delapan Jam di Sekolah

24 Oktober 2016   06:58 Diperbarui: 24 Oktober 2016   10:19 914
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mendikbud mengeluakan peraturan delapan jam guru di sekolah. Dulu usai dilantik menelorkan ide sekolah sepanjang hari, dan belum ada kejelasan. Menyimak delapan jam guru di sekolah, ada beberapa hal yang bisa dikaji. Baik dan buruknya tentu saja.

Kelebihan dari ide delapan jam di sekolah

Satu. Guru jelas memiliki waktu lebih untuk mempersiapkan KBM, baik itu administrasi sekolah, kelas, ataupun persiapan mengajar. Waktu pulang sekolah yang mundur, jelas memberikan waktu lebih untuk lebih konsentrasi dan fokus pada KBM dan bukan urusan sekolah.

Dua, koreksi, memberi nilai, dan kegiatan sekolah tidak dibawa pulang, berarti memberikan keleluasaan guru bersama keluarga lebih baik. Kualitas kebersamaan keluarga guru tidak terganggu dengan aktifitas profesi guru.

Tiga, kesempatan pendekatan kepada murid bermasalah bisa lebih optimal. Kepulangan siswa-siswi pukul 13-14, dan jadwal kepulangan guru yang delapan jam sekitar pukul 15, ada waktu untuk pembinaan, pendekatan personal bagi siswa yang bermasalah. Hal ini sangat membantu dan memberikan kontribusi pada pendidikan yang lebih baik. Kesiapan kemampuan bisa diatasi sekolah.

Empat, kesempatan belajar dan memperkembangkan ilmu sesama guru. Susah mengharapkan masih bisa belajar dan memperkembangkan ilmu jika di rumah. Apalagi guru perempuan. Bukan berarti sexist, namun soal kesibukan yang disandang peran ganda perempuan. Waktu lebih panjang di sekolah bisa sangat membantu.

Lima, membantu guru lebih profesional karena kesempatan untuk ngelesi berkurang. Bagi guru PNS sertifikasi atau sekolah favorit tidak menjadi soal, berbeda dengan guru honor atau tidak tetap, berbeda kasus tentunya. (lebih soal pelaksanaan ketika yang disasar adalah guru sertifikasi).

Enam, kesempatan untuk meningkatkan budaya baca tulis, suka atau tidak, budaya baca tulis guru sangat lemah, tidak heran jika siswanya juga ikut lebih parah. Kesempatan membaca dan menuangkan ide dalam tulisan tentu sangat membantu bagi pendidikan Indonesia secara umum.

Tujuh, pendidikan bukan semata memberikan yang sama selama bertahun-tahun, dengan cara yang sama, dan tetap saja begitu bisa terkikis jika bisa memanfaatkan waktu yang ada. Tambahan dua jam per hari bisa mendapatkan banyak hal yang bisa dilakukan sebenarnya.

Melihat tabiat dan kebiasaan selama ini hal ini susah diimplikasinya, ide memang keren dan bagus, namun jika pelaksanaan tidak jalan, ya sudah. Beberapa hal kendala yang bisa terjadi:

Satu, pernah kesaksian para ibu yang ada di bawah Pemda Jateng, waktu pemerintahan Pak Bibit mengatur kepulangan guru sama dengan pegawai pemda lainnya. Apa yang   terjadi di sana? Pembicaraan jauh dari soal pendidikan karena malah berbicara katering mana yang baik untuk kegiatan mereka mantu. Atau ada yang jaga yang lain pulang karena ada telpon dari atasan yang ngecek keberadaan di sekolah.

Dua,  pegawai lain ada waktu libur cuti, guru tidak ada. Bagaimana bisa diatur kepulangan atau jam kerja yang sama. Masih juga beberapa jenjang sekolah hari Sabtu pun masuk. Jam masuk sekolah juga lebih pagi.

Tiga, ini berkaitan dengan guru tidak tetap yang tidak bisa nyambi di tempat lain, bimbel atau les privat. Meskipun ini tidak menyeluruh namun banyak kasus kehidupan guru ditunjang oleh aktivitas ini. Sepanjang bukan murid sendiri dan ada konflik kepentingan tentu tidak masalah. (meskipun aturan untuk guru profesional, bisa saja nanti salah kaprah bisa terjadi)

Empat, kreativitas guru dan kepala sekolah belum bisa menjamin jam yang ada di luar jam mengajar ini menjadi efektif dan berdaya guna. Dan sangat pesimis melihat tabiat guru kita selama ini yang masih seperti itu.

Ide dan wacana itu baik, namun mendesak itu karakter pendidikan yang lebih mendesak. Soal kebiasaan membaca yang masih lemah dari siswa itu berasal dari kebiasaan guru. Sistem pendidikan yang mengejar target kurikulum, menghapal, membuat kebiasaan membaca menjadi lemah. Belum lagi budaya menulis, dan berbicara di depan umum, sangat lemah bisa dibangun.

Kejujuran yang menjadi keprihatinan bersama, bagaimana dijawab. Hal ini sangat mendesak, tidak cukup dengan warung kejujuran, atau KPK memberikan penjelasan ke sekolah-sekolah. Jauh lebih mendesak dengan adanya pendidikan lepas kepentingan terutama politik, bebas anak titipan di sekolah favorit, suap untuk jadi kepala sekolah, dan nilai dipatok seperti membuat nilai di atas kertas.

Sertifikasi dan implikasinya belum banyak berpengaruh pada peningkatan kualitas pendidikan. Soal gaya hidup  dan kualitas kehidupan guru bersertifikat iya, telah bisa bersaing dengan pegawai negeri lain, namun apakah itu cukup? Sama sekali tidak, belum lagi ketika mengurus sertifikat itu pungli merajalela, main serobot jam mengajar, dan meninggalkan KBM dengan tanpa merasa bersalah, yang penting sertifikat cair.

Sertifikat menjadi tujun bukan saran memperbaiki kualitas pendidikan, ini tentu penting sehingga kualitas pendidikan tidak makin payah secang gaya hidup sebagian guru berubah mewah. Masih banyak pekerjaan yang mendesak.

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun