Dua Tahun dengan Sebelas Pencitraan Jokowi
Pencitraan itu akan mengambil sudut yang menguntungkan, populer, dan menyenangkan semakin banyak orang. Populer dan dukungan yang menjadi motivasi. Dua tahun Jokowi, beberapa hal yang ia tampilkan sebagai pencitraan
Satu: soal BBM. Memangkas subsidi BBM. Jelas saja pencitraan sehingga banyak hujatan dengan mengatakan kecewa sudah memilih. Eh masih saja dihajar dengan pola naik turun harga BBM yang sekian puluh tahun nyaman dengan harga yang sama hanya kalau ada keadaan luar biasa baru naik, naik, dan turun beberapa kali. Kemanjaan yang diretas ini menimbulkan gejolak, dan kini semua juga biasa saja. Sangat tidak populis, pencitraan yang merugikan.
Dua, soal hukuman mati. Tidak heran ada yang mengatakan presiden melumuri tangannya dengan darah. Eh lupa bahwa yang ditumpahkan darahnya itu sudah membunuh orang tidak berdosa 50 orang per hari. Belum lagi duniainternasional mengecam dengan lantang. Tetap dilakukan demi bangsa dan negara yang sehat. Pencitraan yang sia-sia, bisa saja diam dan tidak melakukan hukuman kan selesai sendiri, lima tahun sepuluh tahun lewat. Eh malah sampai mengulang tiga kali.
Tiga, pergantian menteri. Pencitraan akan mudah mengusung menteri dari parpol. Parpol dimanjakan dengan orang yang ditawarkan, dan semua senang, semua riang, mau penduduk meriang tidak masalah. Nyatanya tidak demikian, malah lebih memilih orang profesional dan menimbulkan sedikit kegaduhan di sana-sini, lumayan menjadi bahan keramaian soal kabinet.
Empat, fokus infrastruktur dengan risiko banyak anggaran yang terserap ke sana. Tidak heran banyak kritikan yang menyatakan ini itu, dan anggaran negara yang berkali-kali dipangkas karena fokus ke infrastruktur. Pencitraan yang tidak penting, membuat nama presiden tidak berkibar, toh nyatanya dua periode yang lama banyak juga bendungan di wacanakan tidak dibangun bisa selesai.
Lima. Recehan. Berkali ungkapan receh ini didengungkan. Pencitraan sekelas receh, mau menyenangkan, namanya keren, mengusut dengan cepat Lapindo, Century, Papa Minta Saham, dan ternyata bukan itu, malah mengurus yang sepuluh ribuan namun menyentuh langsung dari rakyat jelata yang dirugikan. Yang besar-besar kan ada polisi, jaksa agung, dan KPK.
Enam. Pencitraan dengan datang ke Papua. Coba mengunjungi Jabar dan Jatim dengan  membagi-bagikan apa yang dibutuhkan jauh lebih menjanjikan suara pilpres mendatang. Eh malah ke Papua, coba dihitung cuma berapa suara pilpres? Atau ke Sumatera Utara, atau Sulawesi Selatan.
Tujuh, ke Miangas, konon penduduknya sangat sedikit, coba datang ke Madura, jauh lebih banyak orang yang akan memilihnya. Pencitraan selevel walikota yang tidak perlu angka jutaan untuk menjabat. Ribuan cukup. Dan itu pilihan presiden level walikota itu.
Delapan, tidak mau berlebihan dengan pengawalan. Pencitraan yang sangat lekat dan tidak menjaga jarak dengan rakyatnya. Kan memang presiden bangsa Indonesia, ada juga yang belum mengakui, tidak banyak, cuma besar mulut. Lha memang presiden penjajah yang harus menggunakan pengawalan militer, sniper,helikopter, dan pasukan di titik-titik keramaian.
Sembilan, sederhana. Ini memang pencitraan yang luar biasa, bagaimana tidak, kan banyak petinggi, orang kaya, sehingga uangnya dititipkan si Singapura, Swis, dan di luar negeri. Eh malah presidennya sederhana, mirip rakyat, kan bea dengan calon presiden USA yang glamour, layak diajak photo bersama.
Sepuluh, blusukan, semua pejabat juga melakukan (katanya, pas mau pilihan), tidak heran ada yang ikut dengan pakaian micky mouse, atau makan di warteg dengan jas dan tidak bebas. Atau ikut trerlibat dengan rakyat namun dengan pengawalan ketat.
Sebelas, memayungi anak buah, bawahan, yaitu gubernur Papua. Dulu juga menuangkan air minum untuk gubernur. Lho kan presiden, cari muka, apa memang levelnya walikota, sehingga memayungi, menuang air untuk gubernur? Apa coba artinya, kalau bukan pencitraan. Juga masuk sawah segala, lepas sepatu, masuk sawah, jelas pencitraan, di belakang meja, ruang ber-AC, kursi empuk, napa harus turun ke sawah, harga mahal tinggal impor, beres.
Itulah sebelas pencitraan Jokowi. Dua tahun yang penuh dengan kerja pencitraan ala Jokowi. Tidak heran banyak anggota dewan bahkan pimpinan dewan yang mengoloknya. Target seratus hari sudah diganti, eh sudah dua tahun masih kokoh dan makin lebih dipercaya. Levelnya walikota, eh malah sudah mengunjungi ujung Timur di Papua hingga Barat di Aceh, Utara di Miangas.
Tiga tahun sisanya tinggal menuai panen pencitraan yang sudah dilakukan. Hal-hal tabu sudah diubah dan tinggal memetik hasilnya yang tidak akan lama lagi dirasakan.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H