Irman Gusman yang beberapa waktu lalu tertangkap tangan oleh KPK masih bersikukuh  untuk mempertahankan kursi pimpinan DPD. Dalih yang dipakai adalah, pra peradilan belum dilakukan. Menarik adalah, bagaimana bersikukuhnya IG untuk duduk menjadi ketua dewan ini, padahal sudah memasuki periode kedua ini.
Gambaran Nyata Kuasa itu Enak
Beberapa saat lalu dimosi tidak percaya oleh koleganya sendiri untuk batasan periode kepemimpinan  untuk menjadi dua. Manuver demi manuver dan hingga lolos dari perselisihan tersbut. Entah kali ini masih berkait dengan hal itu, nyatanya ada fakta OTT.Bolehdan wajar jika ia dan para pendukungnya itu ingin membuktikan bahwa OTT itu sebentuk rekayasa. Sah secara hukum dan itu haknya sebagai warga negara. Awalnya bersikukuh untuk tidak ada kaitan dengan apapun termasuk jabatannya dengan soal gula.Â
Namun nyatannya sekarang mulai terkuak bahwa memang ia menelpon ke bulog soal ini. Ini pengakuannya sendiri. Artinya memang ada perkara gula, uang yang diterima entah apa namanya yang oleh KPK disebut sebagai suap. Bisa saja suap ini pun dibantah, tanya kemudian, jika ia sebagai Irman Gusman yang bukan ketua DPD bisa komunikasi (menekan) Bulog, ada pengusaha  yang datang untuk tiba-tiba beri uang 100 juta yang banyak dianggap  sebagai receh itu.
Merasa tidak bersalah, merasa ini cobaan, mengaitkan dengan rekayasa dan rival politik.
Entah bagaimana membangun jiwa sehat bangsa ini. Â Selalu bersikukuh dan menyatakan tidak benar, dan tiap maling anggaran dengan bahasa keren korupsi selalu saja tidak mau mengaku. Bahkan dalam kasus lain bisa ada mobil mewah datang sendiri. Logika tidak jalan dan merasa seolah-olah benar, paling logis, dan tidak salah sama sekali. Bisa dikatakan jelas-jelas jebakan jika uang yang katanya receh itu tidak dari kamar, yang disangka penyuap masih di sana dan masih saling paksa untuk menolak dan memaksa.Â
Apa rumah petinggi negara tidak ada cctv sehingga bisa membuktikan kalau memang Irman atau penyuap saling paksa. Jika demikian memang KPK salah, mudah, dan selesai. Paling parah jika malah memfitnah Tuhan dengan mengatakan ini cobaan. Bukan cobaan wong nyatanya mencobai sendiri kog. Sudah salah masih juga memfitnah Tuhan.
Nurani yang bebal.
Kadang iri melihat bangsa lain yang katanya sekular, tidak berdasar agama, atau budayanya tidak adiluhung, namun malu kalau dikaitkan saja dengan isu soal maling atau susila. Mereka tidak berteiak-teriak atau menantang dengan sumpah serapah, menuntut ini itu, atau menyalahkan pihak lain. mereka mundur dan usai karirnya, berpindah jalur, baru isu saja. Apa artinya? Bahwa mereka menghayati nilai agama dan menjadi jiwa mereka, sehingga tidak perlu harus berpikir hukuman macam-macam.Â
Mereka tahu batasan soal kepantasan bukan semaata hukum di atas kertas. Sikap malu, tahu batas, dan merasa itu merugikan kemanusiaan dan hidup bersama. Agama bukan semata ritual dan rapalan kata-kata suci, namun sudah menjadi gaya hidup dan itu sebagai pedoman di dalam kehidupannya. Bandingkan pejabat kita, soal keagamaan jangan ditanya, bahkan menggunakan ayat-ayat suci untuk membenarkan perilaku tamak dan maling mereka kog.
Politik itu menjanjikan dan mengenai cara tidak menjadi pertimbangan
Bukan rahasia umum jika parpol dan dewan merupakan lembaga paling tidak bisa dipercaya, korup, dan tidak transparan. Tidak mengagetkan ketika ada ide untuk membantu terpidana, mantan terpidana untuk tetap menjadi pimpinan daerah. Benar bahwa ini adalah hak setiap warga negara, namun ingat hak mereka sudah diserahkan dengan rela karena mereka melanggar hukum. Hukuman memang bukan balas dendam namun memberikan efek jera dan tidak mengulangi.Â
Selama ini, mana paradigma yang dipakai penghormatan atas hak itu membuat jera? Nambah parah iya. Perlu diubah dan diganti pola pikir hak asasi yang kebablasan ini. Mudahnya mencari uang, kehormatan, dan sekaligus pekerjaan. Ini aneh dan ironis ketika menggunakan cara-cara yang tidak patut untuk pekerjaan yang mereka klaim yang terhormat itu.
Pejabat itu pelayan masyarakat masih jauh dari harapan.
Pemahaman dan pemaknaan soal abdi atau pamongpelayan ini masih jauh dari semestinya. Minta dilayani, minta dikawal, minta berbagai-bagai fasilitas, di antara derita rakyat, jelas bahwa mereka telah salah mengambil peran. Tidak semata soal gaji sebagai konsekuensi logis atas kerja, namun sikap mental yang memang buruk.
Hukuman sosial yang diwacanakan, baik nyapu jalan, ngosek toilet fasilitas umum, atau apapun toh nantinya paling juga menyewa orang untuk melakukan atas nama orang itu. Mental maling yang perlu diubah, soal hukuman itu ranah yang berbeda. Bagaimana wong nyatanya maling saja bangga dan cengengesan kog, jangan-jangan nanti nyapu pun sambil joget, karena urat malunya sudah tidak ada, hartanya masih banyak dan tidak ditarik untuk mengembalikan dana yang sudah dimaling.
Hukum yang ada sudah baik dan representatif, hanya soal penegakan yang masih bisa ditawar, pembelaan dari para pemuja, dan sikap penghormatan akan materi. Penghormatan materi ini perlu diubah dan memberikan penghormatan atas materi. Lihat saja mantan atlet yang mau jadi tukang sapu, eh mantan maling diberi dasi dan jadi gubernur lagi?
Apakah akan terus seperti ini bangsa ini dibangun?
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H