Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

DPD, Korupsi, dan Ironisnya Sikap Pembelaan

23 September 2016   06:37 Diperbarui: 23 September 2016   07:10 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

DPD, Korupsi, dan Ironisnya Sikap Pembelaan

Kisah OTT ketua DPD belum berakhir, PPATK yang merasa tidak perlu mencurigai sang katua, kali ini dilibatkan KPK. Proses hukum sebenarnya perlu dikedepankan siapapun dia. Menyaksikan makin ke sini, kisah yang menyertai malah membuat makin tidak simpatik lembaga DPD.

Prestasi DPD. Selama ini DPD masih menjadi legeslator kelas dua, posisi startegis sebagai jembatan daerah dan pusat belum bisa mereka emban karena sikap minder dan kalah lantang dengan kakaknya. Tidak heran, mereka sepi dari pemberitaan apalagi prestasi. Kontroversi iya.

Kisruh pilpres lalu membuat DPD juga terimbas dengan ramainya paket pimpinan yang bertele-tele waktu itu. Ada dua paket yang satu cenderung ke KIH dan satu lebih memiliki kedekatan kepada KMP dan yang menang adalah yang kedua ini. Itu sudah berlalu dan kembali mengagetkan ketika ada “mosi tidak percaya kepada pimpinan.”

Kisruh lagi, soal keinginan  rotasi pimpinan dengan adanya dua kali per  periode.  Sama sekali tidak berkaitan dengan soal esensial kinerja, namun lebih banyak arahnya soal uang dan kekuasaan.  Belum ada kisah memperjuangkan kepentingan rakyat yang lebih mendasar dan penting. Eh malah kemudian OTT sang ketua.

OTT ketua DPD, dan ini malah berkepanjangan karena adanya pembelaan demi pembelaan. Badan kehormatan mereka tidak bisa menetapkan menghentikan IG, katanya menunggu surat resmi dari KPK, surat datang, eh ada lagi upaya lucu. Malah pengacaranya kaget  karena justru pihak pimpinan DPD yang menyatakan mau pra peradilan, bagaimana ini sedangkan pengacaranya tidak tahu, yag rekan kerjanya malah menyatakan Senin depan.

Apa yang seharusnya dilakukan DPD?

Pertama, menghormati KPK untuk mengajukan ke peradilan, jika memang tidak bisa membuktikan bahwa KPK memiliki bukti, KPK layak dibubarkan karena merekayasa untuk pejabat tinggi negara. Namun kecil kemungkinan ini dari pada Kura-Kura Hijau jauh lebih percaya KPK.

Kedua, upaya pra peradilan silakan namun lebih baik jika sebagai pimpinan tetap diganti, lebih elok lagi jika IG mundur, menciptakan budaya baru. Ini saatnya IG menampilkan sosok yang berbeda, apalagi dorongan mencabut penghargaan dari negara menguat, jika masih saja sama seperti ini, apa bedanya dengan korup lainnya.

Ketiga, lembaga DPD sebagai lembaga yang jauh lebih bersih dan belum terkontaminasi perlu memperbaiki diri dengan segera dan tidak perlu membela bak babi buta begitu. Ganti dan biar menjadi urusan pribadi.

Keempat, jika memang tidak bersalah, hadapi hukum dan peradilan dengan ksatria, jangan khawatir akan mendapatkan ketidakadilan. Ingat Pak IG bukan maling sendal di halaman yang tidak tahu hukum dan adanya pembela.

Kelima, pembelaan rekannya bisa menjadi tanya, ada apa kog begitu membela, apa memang banyak kasus yang identik model suap ini?  Azas praduga bersalah perlu diterapkan untuk membersihkan negara ini agar bebas korupsi.

Keenam, gunakan energi yang jauh lebih penting seperti soal kesenjangan daerah dan pusat, jauh dari Jakarta dan Jawa masih banyak yang kurang perhatian. Ini jelas sangat lebih membutuhkan energi dan perhatian.

Ketujuh, jangan sampai ada kisah baru KPK vs DPD, sebagai sequel KPK vs Polri. KPK kali ini jauh lebih profesional dan tidak main politik seperti yang sudah-sudah.

Kedelapan, jangan jadikan dalih dan alasan jumlah atau nominal suapnya yang dibesar-besarkan dan selalu mengatakan tidak mungkin sebagai senjata. Apa serendah itu KPK mempermalukan negara dengan “menjebak” petingginya di rumah dinas lagi.

Kesembilan, sarana untuk KPK bekerja keras membuktikan kecurigaan selama ini paling lemah dan sebagainya. Bukti bahwa kecurigaan itu tidak berdasar. Dan bagi DPD membuktikan tidak patut dibubarkan namun diperkuat. Jangan malah menjadi pembenar untuk membuang kedua lembaga ini. Sebenarnya ada kesempatan baik di sana.

Kesepuluh, melibatkan PPATK dan kerja sama yang baik dengan kejaksaan sehingga bisa terbukti dan bukan malah KPK terjebak sendiri sehingga bisa menjadi senjata untuk memperlemah KPK seperti selama ini banyak dicari-carikan.

Membela kolega itu baik, namun kalau membenar-benarkan yang salah dengan aneka cara, yang kadang lepas logika, tentu tidak pantas. Lembaga tidak boleh dikalahkan untuk seorang yang sedang terkena kasus, termasuk pimpinan. Pimpinan tetap saja jika melakukan tindakan apalagi korupsi tidak perlu dibela dengan mati-matian.

Pembelaan selama ini berkutat pada sosok yang santun, tenang, tidak aneh-aneh. Ini bukan bukti tidak akan maling, meskipun bisa juga sebaliknya, biar pengadilan yang membuktikan. Tampilan pribadi termasuk pejabat tidak otomatis linier dengan perilakunya. Hal ini bukan bukti kuat untuk menyatakan IG tidak salah. Namun bukan juga membuktikan tidak benar.

Pembelaan kedua, soal besaran uang atau bukti OTT. Menilai bahwa nilai 100 juta itu bukan nilai yang pantas untuk seorang IG selaku ketua DPD, apakah ini menghormati pejabat tinggi negara atau malah justru memalukan karena seribu saja pejabat maling tetap saja maling. Harusnya DPD malu bukan malah membela dengan memberikan nilai ini kecil. Bagaimana uang seratus juta itu dinilai kecil? Berarti bahwa nilai mereka memang segitu, harkatnya senilai materi yang bisa musnah.

Pribadi itu tidak ternilai oleh uang. Alangkah naifnya jika pejabat negara memiliki tarif malingnya. Apakah ini bukan merupakan gambaran selama ini sudah ada “harga” jabatan dan suap alias maling sehingga mereka sudah tahu sama tahu.

Saatnya bersih-bersih bukan untuk membela kolega atas nama korp, namun justru waktunya untuk buka-bukaan dan menyelesaikan semua dengan sejelas-jelasnya.

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun