Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

DPD, Korupsi, dan Ironisnya Sikap Pembelaan

23 September 2016   06:37 Diperbarui: 23 September 2016   07:10 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kelima, pembelaan rekannya bisa menjadi tanya, ada apa kog begitu membela, apa memang banyak kasus yang identik model suap ini?  Azas praduga bersalah perlu diterapkan untuk membersihkan negara ini agar bebas korupsi.

Keenam, gunakan energi yang jauh lebih penting seperti soal kesenjangan daerah dan pusat, jauh dari Jakarta dan Jawa masih banyak yang kurang perhatian. Ini jelas sangat lebih membutuhkan energi dan perhatian.

Ketujuh, jangan sampai ada kisah baru KPK vs DPD, sebagai sequel KPK vs Polri. KPK kali ini jauh lebih profesional dan tidak main politik seperti yang sudah-sudah.

Kedelapan, jangan jadikan dalih dan alasan jumlah atau nominal suapnya yang dibesar-besarkan dan selalu mengatakan tidak mungkin sebagai senjata. Apa serendah itu KPK mempermalukan negara dengan “menjebak” petingginya di rumah dinas lagi.

Kesembilan, sarana untuk KPK bekerja keras membuktikan kecurigaan selama ini paling lemah dan sebagainya. Bukti bahwa kecurigaan itu tidak berdasar. Dan bagi DPD membuktikan tidak patut dibubarkan namun diperkuat. Jangan malah menjadi pembenar untuk membuang kedua lembaga ini. Sebenarnya ada kesempatan baik di sana.

Kesepuluh, melibatkan PPATK dan kerja sama yang baik dengan kejaksaan sehingga bisa terbukti dan bukan malah KPK terjebak sendiri sehingga bisa menjadi senjata untuk memperlemah KPK seperti selama ini banyak dicari-carikan.

Membela kolega itu baik, namun kalau membenar-benarkan yang salah dengan aneka cara, yang kadang lepas logika, tentu tidak pantas. Lembaga tidak boleh dikalahkan untuk seorang yang sedang terkena kasus, termasuk pimpinan. Pimpinan tetap saja jika melakukan tindakan apalagi korupsi tidak perlu dibela dengan mati-matian.

Pembelaan selama ini berkutat pada sosok yang santun, tenang, tidak aneh-aneh. Ini bukan bukti tidak akan maling, meskipun bisa juga sebaliknya, biar pengadilan yang membuktikan. Tampilan pribadi termasuk pejabat tidak otomatis linier dengan perilakunya. Hal ini bukan bukti kuat untuk menyatakan IG tidak salah. Namun bukan juga membuktikan tidak benar.

Pembelaan kedua, soal besaran uang atau bukti OTT. Menilai bahwa nilai 100 juta itu bukan nilai yang pantas untuk seorang IG selaku ketua DPD, apakah ini menghormati pejabat tinggi negara atau malah justru memalukan karena seribu saja pejabat maling tetap saja maling. Harusnya DPD malu bukan malah membela dengan memberikan nilai ini kecil. Bagaimana uang seratus juta itu dinilai kecil? Berarti bahwa nilai mereka memang segitu, harkatnya senilai materi yang bisa musnah.

Pribadi itu tidak ternilai oleh uang. Alangkah naifnya jika pejabat negara memiliki tarif malingnya. Apakah ini bukan merupakan gambaran selama ini sudah ada “harga” jabatan dan suap alias maling sehingga mereka sudah tahu sama tahu.

Saatnya bersih-bersih bukan untuk membela kolega atas nama korp, namun justru waktunya untuk buka-bukaan dan menyelesaikan semua dengan sejelas-jelasnya.

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun