Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketidaktepatan Berbahasa

16 September 2016   06:08 Diperbarui: 16 September 2016   07:01 515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bahasa sebagai salah satu alat pemersatu telah luntur karena kita sendiri tidak peduli dengan Bahasa Indonesia yang kita miliki. Salah satu ciri kita abai adalah fakta berbahasa dengan sembarangan. Memang bahasa lisan tentu  tidak perlu SPOK dan bahasa baku yang malah membuat kaku, namun paling tidak adalah  tidak menggunakan pilihan yang salah.

Sering kita dengar, termasuk di ruang sidang yang menteren itu ada “waktu dan tempat kita persilakan,”siapa yang dipersilakan adalah tempat dan waktu, namun apakah  bisa waktu dan tempat itu beranjak? Yang perlu kita persilakan adalah pribadinya, sedang waktu dan tempatnya diberikan.

Tidak kalah seringnya dengan hal di atas adalah ini, “untuk mempersingkat waktu...” Waktu ya tetap saja bukan, seperti sejak zaman dulu hingga sampai kapanpun tidak bisa menghemat waktu. Apa yang dimaksudkan adalah untuk tidak membuang-buang kesempatan yang berharga dalam acara itu, atau katakan saja, tidak perlu berpanjang lebar, masih banyak yang akan berbicara.

Ah itu kebetulan saja kog,” idenya mau tampak rendah hati dan tidak menyombongkan diri. Satu sisi bisa dinilai sombong, namun bisa pula sebagai wujud kerendahdirian. Beda lho rendah hati dan rendah diri itu. Rendah hati itu positif jika minder itu perlu dibenahi.

Ah, sombong kamu...” sering terdengar ketika mendengar orang memuji diri sendiri. Bisa saja benar jika orang tersebut berlebihan, namun jika memang faktanya demikian, boleh saja menilai diir dengan baik. Contoh, pemuda memiliki tinggi badan 185 cm dan mengaku bahwa dia jangkung, benar ketika ia anak Indonesia, bukan sombong tentunya. Beda jika ada anak setinggi 155 cm dan merasa tinggi. Jarang kita berani mengatakan hal-hal yang positif bagi diri sendiri.

Saya tidak bisa...”sering terdengar jawaban demikian, padahal sama sekali belum mencoba, sikap ini bukan rendah hati  namun enggan mencoba, dan susah bersaing jika demikian. Mengapa tidak dibiasakan, dengan jawaban yang lebih positif, “Baik akan saya coba...”

Penggunaan perumpamaan namun sering hilang sebagian, contoh, bak babi buta,sering dituliskan atau dinyatakan babi buta, kan bukan babi yang melakukan, perilakunya seperti babi buta, ada awalan bak yang berarti seperti.

Identik dengan yang di atas, bak kebakaran jenggot.Sering dinyatakan dengan kebakaran jenggot saja, padahal kan belum tentu punya jenggot, dan memang tidak ada yang kebakaran kog, utuh bak kebakaran jenggot, yang berarti kalang kabut seperti orang yang jenggotnya kebakaran.

Menghiraukan itu sama dengan peduli, jika mau mengatakan tidak memperhatikan atau tidak menaruh minat berarti menuliskannya tidak menghiraukan, sering salah mengambil dan menerapkan kata.

Penyangatan dengan berlebihan, contoh, dia sangat  pintar sekali, cukup satu kali saja, antara pintar sekali atau sangat pintar atau amat pintar.

Saling dan diikuti kata ulang, contoh saling tolong menolong, seharusnya saling tolong atau tolong menolong. Kata saling sudah mengungkapkan perulangan dan sebaliknya perulangan sama juga dengan saling.

Para, menunjukkan jamak, jadi jika kata jamak seperti masyarakat, tidak perlu adanya kata para. Para masyarakat tentu tidak perlu. Masyarakat tentu banyak.

Memilih, menggunakan kata, atau frasa memang sering tidak menjadi perhatian, karena memang kita sendiri tidak memiliki kebanggaan dengan bahasa persatuan kita sendiri. Masih diperparah dengan campur aduk dengan menyisipkan kata-kata asing dalam percakapan, lebih  fatal lagi dalam pidato resmi, padahal kata tersebut ada dalam kata-kata dalam bahasa Indonesia. Seperti trust,untuk kata percaya.

Tidak heran anak-anak muda, mahasiswa menggunakan model demikian dalam pembicaraan mereka, i see,untuk menggunakan saya tahu. I know, hendak mengatakan saya mengerti.  Bukan soal antiasing, namun mengapa harus bangga akan yang berbau asing? Karakter itu salah satunya dari bahasa.

Belum lagi dunia olah raga yang jelas saja orang Indonesia, main di Indonesia, dan maaf seribu maaf tidak akan mungkin ada yang membeli hak siar liga Indonesia mengapa harus menggunakan bahasa asing, istilah asing seperti, coach,padahal apa susahnya menggunakan kata pelatih. Hasil proses pembinaan dengan kata progress,istirahat mengapa harus break,dan banyak  lagi.

Salah satu yang perlu dibangun adalah kebanggaan akan jati diri bangsa. Salah satu jati diri yang nyata ada dalam bahasa. Mengambil kata asing sah-sah saja, boleh, asal memang belum ada pada katanya dalam bahasa Indonesia, bukan malah yang bahasa Indonesia dipakai istilah asingnya.

Media memegang peran penting, terutama pengamat, baik politik ataupun olah raga. Presiden telah mengingatkan media untuk menayangkan lagu-lagu nasional untuk menggelorakan semangat berbangsa dan sudah dilakukan, sepertinya berbahasa Indonesia dengan baik tanpa perlu menambah-nambahkan kata asing perlu juga ditingkatkan.

Memaksakan kata sendiri untuk menerjemahkan kata asing juga tidak bijaksana tentunya. Bijaksana dalam menghormati, menghargai, dan bangga akan bangsa dan negara, salah satunya berbahasa dengan baik.

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun