Para, menunjukkan jamak, jadi jika kata jamak seperti masyarakat, tidak perlu adanya kata para. Para masyarakat tentu tidak perlu. Masyarakat tentu banyak.
Memilih, menggunakan kata, atau frasa memang sering tidak menjadi perhatian, karena memang kita sendiri tidak memiliki kebanggaan dengan bahasa persatuan kita sendiri. Masih diperparah dengan campur aduk dengan menyisipkan kata-kata asing dalam percakapan, lebih  fatal lagi dalam pidato resmi, padahal kata tersebut ada dalam kata-kata dalam bahasa Indonesia. Seperti trust,untuk kata percaya.
Tidak heran anak-anak muda, mahasiswa menggunakan model demikian dalam pembicaraan mereka, i see,untuk menggunakan saya tahu. I know, hendak mengatakan saya mengerti.  Bukan soal antiasing, namun mengapa harus bangga akan yang berbau asing? Karakter itu salah satunya dari bahasa.
Belum lagi dunia olah raga yang jelas saja orang Indonesia, main di Indonesia, dan maaf seribu maaf tidak akan mungkin ada yang membeli hak siar liga Indonesia mengapa harus menggunakan bahasa asing, istilah asing seperti, coach,padahal apa susahnya menggunakan kata pelatih. Hasil proses pembinaan dengan kata progress,istirahat mengapa harus break,dan banyak  lagi.
Salah satu yang perlu dibangun adalah kebanggaan akan jati diri bangsa. Salah satu jati diri yang nyata ada dalam bahasa. Mengambil kata asing sah-sah saja, boleh, asal memang belum ada pada katanya dalam bahasa Indonesia, bukan malah yang bahasa Indonesia dipakai istilah asingnya.
Media memegang peran penting, terutama pengamat, baik politik ataupun olah raga. Presiden telah mengingatkan media untuk menayangkan lagu-lagu nasional untuk menggelorakan semangat berbangsa dan sudah dilakukan, sepertinya berbahasa Indonesia dengan baik tanpa perlu menambah-nambahkan kata asing perlu juga ditingkatkan.
Memaksakan kata sendiri untuk menerjemahkan kata asing juga tidak bijaksana tentunya. Bijaksana dalam menghormati, menghargai, dan bangga akan bangsa dan negara, salah satunya berbahasa dengan baik.
Salam