Kepantasan itu tidak ada batasan yang pasti sebagaimana  hukum positif. Apa yang menjadi tolok ukur adalah ranah rasa atau konsensus bersama yang ada. Bisa saja berbeda di satu tempat dengan tempat lainnya, atau bahkan bertolak belakang.
Contoh kasus mengenai pantas atau tidak.
Pertama, ada undangan pesta tanpa ada keterangan mengenai pakaian khusus sebagaimana undangan resmi dengan batik lengan panjang misalnya, artinya akan mengenakan apapun tidak ada yang salah, mau pakai jas bisa, pakai kaos pun tidak salah, namun apa pantas?
Kedua, melayat, bersama teman-teman ngelawak, ngebanyol, dan membuat candaan. Tidak ada hukumnya bukan? Namun sikap berempati tidak juga perlu ditunjukkan dengan muda bermuram durja bagi satu pihak dan pihak lain tidak pantas tentunya becanda di tempat kematian.
Kepantasan itu cenderung kembali ke pribadi masing-masing dengan kesesuaian apa yang secara umum itu dipahami dan disepakati bersama. Hukumnya tidak ada, jadi garis pemisahnya tentu sangat sumir, bahkan bisa dihilangkan sesuai kepentingan, bagi yang sudah abai akan etika hidup bersama.
Kisah Bupati Termuda di Sumatera yang terjerat narkoba, baru-baru ini, diketok palu dengan hukuman rehabilitas selama enam bulan. Entah ini kebetulan atau memang sudah demikian secara hukum, putusan itu sama waktu dengan rehabilitasi. Keputusan PTUN pun menyatakan bahwa SK mendagri soal pemberhentiannya tidak sah dan sudah dibatalkan, artinya sependek yang saya pahami, ia bisa kembali menjabat bupati. Â
Secara hukum, ia telah menjalani vonis (soal banding dari jaksa, tidak menjadi bahasan, karena kondisi saat ini) direhab selama enam bulan dan pas dengan hari vonis, artinya sudah bebas. Tidak ada masalah. Â Secara hukum bisa dipertanggungjawabkan apalagi di PTUN pencopotannya tidak lagi berlaku.
Prosedur demokratis juga sudah diselesaikan dengan pemilihan langsung. Semua sudah dijalani jauh hari tentunya. Artinya tidak ada halangan untuk tetap menjadi bupati, karena dalam pemilihan menang terhadap rival-rivalnya.
Apakah hal itu membuatnya tetap pantas sebagai bupati? Ada gerakan yang menolak kembalinya sang bupati di daerahnya. Apakah ini salah? Bisa saja gerakan yang menolak ini memakai azas kepantasan bukan prosedural dan hukum yang sering masih dicurigai. Jika tidak pantas, apanya yang telah dilanggar sehingga tidak lagi layak, toh secara  hukum tidak dipenjara?
Satu,program nasional, presiden menyanangkan program membasmi narkoba dengan besar-besaran. Hukuman mati ditegakkan dan dilakukan. Jika ada pejabat kepala lagi menggunakan, bagaimana pertanggungjawaban moral-etis-kepantasan itu diberikan?
Dua,sebagai pejabat tentu akan sering memberikan sosialisasi program pemerintah, bagaimana dia bisa mengatakan kita dukung program penyalahgunaan narkoba sebagai salah satu kejahatan luar biasa. Apa bisa ketika pendengar tahu dengan persis dia sendiri memakai.
Tiga, keteladanan sebagai pemimpin. Tentu tidak ada yang sempurna di dunia, namun jika melakukan perilaku yang dinyatakan sebagai kejahatan luar biasa seperti ini, apa juga masih pantas? Ingat membedakan antara pemakai dan pengedar apalagi bandar tidak mudah, cara berkelit mereka sangat lihai. Belum lagi soal kekuasaan yang bisa ia gunakan. Bukan tidak mungkin anak buahnya menggunakan kedudukan bupati untuk mengedarkan hal ini, ingat perdagangan model ini luar biasa besar, cerdik, dan liciknya. Semua kesempatan akan dipakai. Hal ini  perlu dipertimbangkan untuk menjabat kembali.
Tidak heran orang politik sering tersangkut dengan kasus hukum namun merasa seperti seorang tahanan politik era penjajahan, sepertinya malah bangga, seperti pahlawan yang dikerjain oleh penjajah, sikap ini tidak bisa dihukum, kecuali oleh ranah kepantasan. Selain sikap dan bahasa tubuh, ada pula pernyataan yang masuk ranah kepantasan.
Seorang mantan bupati malah menyatakan uang yang dimiliki adalah rezeki, padahal uang itu hasil suap dari pengusaha. Hukum bisa saja menyatakan bahwa uang itu sah karena entah mengapa hakim sedang mengantuk atau bagaimana dan menyatakan bahwa itu bukan uang hasil kejahatan, namun tentunya ia sendiri tahu dengan persis apakah uang itu benar-benar rezeki atau hasil ngakali. Kepantasan itu tergantu atas hati nurani masing-masing. Tidak ada yang tahu selain dia dan Tuhannya tentu saja.
Dewan mengusulkan (malah memaksa), status hukuman percobaan boleh maju pilkada. Sekarang apa pantes ketika banyak orang yang baik, bebas stigma hukuman, berpotensi, namun memberikan jalan untuk terhukum meskipun hanya percobaan. Ini soal pantas atau tidak, karena hukum masih sebatas kepentingan, disusun oleh kelompok yang sangat kental dengan kepentingan kelompok.
Mengapa kepantasan jauh dari politikus?
Panglimanya adalah prosedur, sedangkan soal prosedur itu dilalui dengan baik atau tidak, tidak menjadi soal. Â Pokok persoalan adalah prosedur, sedang untuk melaluinya bisa saja dengan suap. Prosedur di atas kertas bukan soal benar dan salahnya hasil.
Kepantasan berkaitan dengan etis, di mana itu adalah  didikan hati nurani. Dari mana hati nurani? Dari pendidikan spiritualitas, ketika agama sebatas ritual dan kata-kata suci tanpa makna, ya sudah, biarpun mengatakan atas nama Tuhan, di dalam benaknya tetap saja setan.
Mudahnya lupa, tidak heran ada orang yang baru keluar dari bui bisa petentang-petenteng maju lagi jadi kepala daerah, kembali maling malah teriak dan menuduh dijahati orang lain. Model ini sangat banyak dan tidak merasa malu dan segan telah melanggar sumpahnya sendiri.
Hukum masih bisa diatur dan belum adil seadil-adilnya. Keadilan namun melupakan aspek hati nurani dan bisa mengatur pasal sesuai kebutuhan. Hal ini banyak sekali bukti dan fakta di mana-mana.
Apakah akan terus seperti ini? Melupakan kepantasan karena  abai akan nurani?
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H