Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik dan Kepantasan

14 September 2016   18:03 Diperbarui: 14 September 2016   18:07 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tiga, keteladanan sebagai pemimpin. Tentu tidak ada yang sempurna di dunia, namun jika melakukan perilaku yang dinyatakan sebagai kejahatan luar biasa seperti ini, apa juga masih pantas? Ingat membedakan antara pemakai dan pengedar apalagi bandar tidak mudah, cara berkelit mereka sangat lihai. Belum lagi soal kekuasaan yang bisa ia gunakan. Bukan tidak mungkin anak buahnya menggunakan kedudukan bupati untuk mengedarkan hal ini, ingat perdagangan model ini luar biasa besar, cerdik, dan liciknya. Semua kesempatan akan dipakai. Hal ini  perlu dipertimbangkan untuk menjabat kembali.

Tidak heran orang politik sering tersangkut dengan kasus hukum namun merasa seperti seorang tahanan politik era penjajahan, sepertinya malah bangga, seperti pahlawan yang dikerjain oleh penjajah, sikap ini tidak bisa dihukum, kecuali oleh ranah kepantasan. Selain sikap dan bahasa tubuh, ada pula pernyataan yang masuk ranah kepantasan.

Seorang mantan bupati malah menyatakan uang yang dimiliki adalah rezeki, padahal uang itu hasil suap dari pengusaha. Hukum bisa saja menyatakan bahwa uang itu sah karena entah mengapa hakim sedang mengantuk atau bagaimana dan menyatakan bahwa itu bukan uang hasil kejahatan, namun tentunya ia sendiri tahu dengan persis apakah uang itu benar-benar rezeki atau hasil ngakali. Kepantasan itu tergantu atas hati nurani masing-masing. Tidak ada yang tahu selain dia dan Tuhannya tentu saja.

Dewan mengusulkan (malah memaksa), status hukuman percobaan boleh maju pilkada. Sekarang apa pantes ketika banyak orang yang baik, bebas stigma hukuman, berpotensi, namun memberikan jalan untuk terhukum meskipun hanya percobaan. Ini soal pantas atau tidak, karena hukum masih sebatas kepentingan, disusun oleh kelompok yang sangat kental dengan kepentingan kelompok.

Mengapa kepantasan jauh dari politikus?

Panglimanya adalah prosedur, sedangkan soal prosedur itu dilalui dengan baik atau tidak, tidak menjadi soal.  Pokok persoalan adalah prosedur, sedang untuk melaluinya bisa saja dengan suap. Prosedur di atas kertas bukan soal benar dan salahnya hasil.

Kepantasan berkaitan dengan etis, di mana itu adalah  didikan hati nurani. Dari mana hati nurani? Dari pendidikan spiritualitas, ketika agama sebatas ritual dan kata-kata suci tanpa makna, ya sudah, biarpun mengatakan atas nama Tuhan, di dalam benaknya tetap saja setan.

Mudahnya lupa, tidak heran ada orang yang baru keluar dari bui bisa petentang-petenteng maju lagi jadi kepala daerah, kembali maling malah teriak dan menuduh dijahati orang lain. Model ini sangat banyak dan tidak merasa malu dan segan telah melanggar sumpahnya sendiri.

Hukum masih bisa diatur dan belum adil seadil-adilnya. Keadilan namun melupakan aspek hati nurani dan bisa mengatur pasal sesuai kebutuhan. Hal ini banyak sekali bukti dan fakta di mana-mana.

Apakah akan terus seperti ini? Melupakan kepantasan karena  abai akan nurani?

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun