Empat, bajak membajak, jor-joran bonus, fasilitas, bukan sebuah kebijakan yang bijak dan baik. Pembinaan dipatahkan dengan gelontoran uang, tidak heran level Asia Tenggara saja sudah ngos-ngosan.
Lima, batasa usia dan prestasi  atlet membuat yang muda enggan dan takut dulu untuk bersaing. Perlu pengetatan jika ingin berani bersaing di ajang yang lebih besar, bukan hanya ouas juara umum tanpa adanya prestasi seperti selama ini.
Enam, juara umum sebagai target utama, bukan prestasi, tidak heran sering tuan rumah berbuat jelek, wasit tidak adil, mengajukan cabor yang menguntungkan tuan rumah, meskipun tidak dipertandingkan di pesta olah raga lebih tinggi. Ini tidak salah cabor tradisional, namun tidak perlu berlebihan demi juara umum saja.
Pesta, harusnya menyajikan kegembiraan, persaingan itu dibalut dengan suka cita dan kegembiraan bersama, bukan malah bertikai karena adanya tuduhan tidak fair, wasit berat sebelah, dan sejenisnya. Sukses PON itu jika tahun ini juara di PON tahun depan sudah bersaing di level SEA Games dan bisa kompetitif, dan tahun berikutnya di ASIAN Games, dan olimpiade. Prestasi itu perlu proses bukan instan dengan membeli dan naturalisasi. Indonesia ini melimpah talenta muda dan berbagai cabang yang tidak pernah habis. Kemauan dan kehendak baik perlu ditekankan agar sukses dan olimpiade tidak hanya sekeping. Ini bukan tidak mungkin lho.
Mens Sana in Corpore Sano, benar terjadi jika badan sehat dan jiwa kuat, ada sinergi, bukan hanya sehat yang pura-pura, baik badan ataupun jiwanya. Jiwa yang kuat juga memberikan kontribusi badan yang sehat.
Selamat Hari Olah Raga
Salam Â
Sumber Inspirasi : Buku Pendidikan Karakter, Doni Koesoema
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H