Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Mens Sana in Corpore Sano, dan Catatannya

9 September 2016   09:01 Diperbarui: 9 September 2016   14:01 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Semboyan olah tubuh yang melegenda ini menyatakan jika jiwa yang sehat itu ada dalam badan yang sehat. Menarik adalah ini sebuah kampanye untuk menggerakkan orang mau berolah raga. Namun apakah benar demikian, jika badan sehat adda jiwa yang sehat pula?

Mari kita lihat dan renungkan bagaimana kehidupan kita berbangsa ini. Tidak jarang, mudah dan sangat gampang kita melihat banyak orang, yang maaf tidak sehat secara badani, fisiknya tidak sempurna atau lengkap, sakit-sakitan, namun memiliki jiwa yang sangat sehat. Kita mengenal Nick yang badannya tidak utuh, tidak memiliki kaki namun bisa menjadi motivator. Soal ini di K ini sering rekan-rekan mengupas itu.

Demikian juga sebaliknya, bagaimana kita pun tidak jarang mengupas berpanjang lebar menganalisis dan mengupas yang berbadan sehat, bahkan hebat namun jiwanya tidak sehat. Apa artinya? Bahwa orang yang sehat, bahkan atlet pun tidak sehat secara jiwa. Bagaimana orang yang badannya sehat toh nyatanya masih suka memutarbalikkan fakta, memfitnah dinilai sebagai ibadah, dan mencela orang tanpa merasa itu sebuah masalah.

Olah raga, salah satu hal yang paling mendasar adalah sportivitas. Namun apakah hal itu telah menjadi gaya hidup bagi insan olah raga? Belum, dan bahkan sering abai dengan itu. Lihat saja bagaimana pembajakan atlet, pengaturan skor, doping agar meningkatkan daya saing, suap, dan politis ada di dunia olah raga. Apakah itu tidak menodai semangat olah raga? Belum lagi soal SARA pun tidak lepas dari dunia olah raga, padahal pengelolanya sehat secara jasmani.

PON dan Sikap Pemenang

Dalam salah satu iklan sosialisasi penyelenggaraan PON di Jabar tahun ini, ada dua petinggi Jabar yaitu Jabar  satu dan dua, yang menampilkan dua sudut pandang keberhasilan, bisa saja ini bukan cara pandang mereka sebagai pejabat publik, namun karena skenario dari pembuat iklan tersebut. Pertama, Gubernur Aher, menyoroti empat sukses, satu, sukses penyelenggaraan, apa yang ingin dicapai adalah baiknya melayani tamu dan menyajikan pesta olah raga empat tahunan ini dengan sebuah gawe yang sukses. Dua, sukses prestasi, bukan bicara Jabr, kareba berpikir soal rekor nasional dan regional, dan seterusnya. Tiga, sukses ekonomi, artinya, ini sebuah pesta tentu ada pendukungnya seperti hotel, rumah makan, katering, penjual souvenir, dan sebagainya. Sukese keempat, soal administrasi, tentunya kita tahu dengan baik, bahwa koordinasi gawe besar ini juga melibatkan banyak pihak dan uang, itu yang ingin dicapai, tanpa adanya kesalahan di dalam administrasi.

Kedua, Jabar dua, Deddy Mizwar, langsung menunjuk Jabar juara umum, kerinduan setelah 55 tahun Jabar ingin sebagai tuan rumah ada juara.  Tidak ada yang salah dengan ide dan angan-angan juara.  Semua tentu ingin jadi juara.

Apa yang terjadi dalam pesta olah raga kita ialah, fokus hanya satu juara umum, namun tidak peduli pembinaan dan prestasi berjenjang. Apa yang terjadi?

Satu, juara olimpiade pun bisa bertarung di level PON, juara di Sea Games pun masih ada di sini. Sudah seharusnya adalah ada pembatasan misalnya level PON ini adalah usia yunior dan memang belum masuk level SEA Games. Apalagi yang sudah lebih tinggi. Jika demikian ada pembinaan berjenjang.

Dua, usia, sudah lebih dari 30 tahun pun masih bersaing dan itu langganan emas. Jangan heran atlet ini jadi rebutan dan tawaran pindah warga daerah. Kapan bersaing demi prestasi.

Tiga sepakat ide Aher, sukses prestasi, dalam artian rekor. Kemenangan itu bonus namun memecahkan rekor itu jauh lebih terukur dan bisa menjadi harapan persaingan ke level lebih tinggi.

Empat, bajak membajak, jor-joran bonus, fasilitas, bukan sebuah kebijakan yang bijak dan baik. Pembinaan dipatahkan dengan gelontoran uang, tidak heran level Asia Tenggara saja sudah ngos-ngosan.

Lima, batasa usia dan prestasi  atlet membuat yang muda enggan dan takut dulu untuk bersaing. Perlu pengetatan jika ingin berani bersaing di ajang yang lebih besar, bukan hanya ouas juara umum tanpa adanya prestasi seperti selama ini.

Enam, juara umum sebagai target utama, bukan prestasi, tidak heran sering tuan rumah berbuat jelek, wasit tidak adil, mengajukan cabor yang menguntungkan tuan rumah, meskipun tidak dipertandingkan di pesta olah raga lebih tinggi. Ini tidak salah cabor tradisional, namun tidak perlu berlebihan demi juara umum saja.

Pesta, harusnya menyajikan kegembiraan, persaingan itu dibalut dengan suka cita dan kegembiraan bersama, bukan malah bertikai karena adanya tuduhan tidak fair, wasit berat sebelah, dan sejenisnya. Sukses PON itu jika tahun ini juara di PON tahun depan sudah bersaing di level SEA Games dan bisa kompetitif, dan tahun berikutnya di ASIAN Games, dan olimpiade. Prestasi itu perlu proses bukan instan dengan membeli dan naturalisasi. Indonesia ini melimpah talenta muda dan berbagai cabang yang tidak pernah habis. Kemauan dan kehendak baik perlu ditekankan agar sukses dan olimpiade tidak hanya sekeping. Ini bukan tidak mungkin lho.

Mens Sana in Corpore Sano, benar terjadi jika badan sehat dan jiwa kuat, ada sinergi, bukan hanya sehat yang pura-pura, baik badan ataupun jiwanya. Jiwa yang kuat juga memberikan kontribusi badan yang sehat.

Selamat Hari Olah Raga

Salam  

Sumber Inspirasi : Buku Pendidikan Karakter, Doni Koesoema

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun