Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nilai Nol: Komunikasi dan Arogansi dalam Dunia Pendidikan

6 September 2016   11:10 Diperbarui: 6 September 2016   11:22 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Nilai Nol: Komunikasi dan Arogansi dalam Dunia Pendidikan

Miris membaca pemberitaan ada siswa yang diberi nilai nol dalam salah satu mata pelajaran sehingga tentu saja tidak naik kelas. Miris lagi alasan mengapa guru tersebut memberikan nilai tersebut, dengan alasan siswa dianggap meremehkan mata pelajaran yang diampu, dan lebih mementingkan mata pelajaran lain.

Menurut berita yang saya baca, siswa ini diutus sekolah untuk mengikuti olimpiade biologi, wajar jika serangkaian kegiatan olimpiade itu siswa tidak bisa mengikuti kegiatan tatap muka sebagaimana siswa lainnya. Kisah identik, namun beda ujungnya, tahun 90-an teman satu kelas saya izin untuk ikut porda, dan wali kelas tidak mau tahu. Izin tidak diberikan, karena dengan pertimbangan rekan ini bukan anak yang cerdas sehingga ketertinggalannya susah untuk dikejar. Bapak wali kelas tidak mau tahu, hanya saja tidak sampai memberikan nilai buruk apalagi tinggal kelas. Hanya tidak pernah disapa dan dianggap sebagai muridnya beberapa saat.

Sensi dan Arogansi Guru Mapel

Dalam terori analisis sosial, tidak ada orang yang salah, kesalahan ada pada sistem. Guru mapel, terutama yang tidak UN biasanya menjadi guru pupuk bawang,hanya jadi penonton dalam gelaran UN. Belum lagi tidak sedikit uang yang bergulir dalam hal ini. Wajar dan bisa dipahami, terutama sekolah swasta tenar itu sangat menjanjikan. Apa ada gur les agama, olah raga, atau  yang lain, selain Bahasa Inggris, Matematika, atau Fisika. Jika hal ini yang terjadi guru tersinggung masih bisa dipahami.

Hal yang berbeda, kala anak siswa diutus, bukan hanya sekolah tentunya, tapi  juga kota, provinsi, bahkan negara jika itu olimpiade internasional. Siswa menjadi duta, bukan bolos atau meremehkan suatu mapel tentunya. Jika dikarantina, tentu bukan hanya satu mapel dia tidak masuk, namun seluruh mapel. Bisa dipahami juga jika siswa ini tidak masuk atau memilih jam pelajaran Bahasa Indonesia saja yang digunakan untuk pendalaman persiapan olimpiade, hemat saya tidak mungin kalau hanya jam satu mapel ini.

Sensi dan arogan ini sebenarnya mirip dengan fanatisme agama, jadi ke dalam bukan keluar. Artinya mendidik anak murid bahwa mapel yang diampu itu yang terbaik dan harus terbaik, tanpa harus sensi ketika murid tidak merespons dengan setimpal. Ketika agama itu fanatis keluar, menuntut orang lian mengikuti maunya dan yang tidak mau dianggap musuh. Berbeda, anak murid belum tentu suka atau ada keperluan lain masih bisa memahami, bahkan mendukung.

Komunikasi Sekolah

Biasaya sekolah akan mengumumkan siswa yang mau berangkat dalam ajang-ajang berprestasi, bisa dalam rapat guru, pengumuman saat upacara, dan acara lain. Menjadi aneh ketika ada guru yang menyatakan muridnya menyepelekan apelnya karena konsentrasi pada mapel lain. Komunikasi wali kelas, kepala sekolah sebelum bertandatangan dalam buku rapot juga bisa dilakukan, aneh ketika wali kelas dan kepala sekolah memberikan tandatangan dan cap ketika ada masalah sepeti ini. Apa tidak ada cara lain yang jauh lebih bijaksana dan guru juga tetap terhormat dan kewibawaannya tidak tercoreng. Bisa dipahami kegalauan siswa dan orang tua jika seperti itu.

Guru itu manusia biasa, wajar jika tersinggung. Namun kalau tersinggung berlebihan tentunya aneh dan lucu. Bagaimana mendidik itu  salah satunya adalah membawa anak didik pada kedewasaan. Kedewasaan salah satu cirinya tentu tidak mudah tersinggung, dengan alasan yang tidak mendasar, bagaimana jika gurunya saja mudah tersinggung seperti ini.

Tanya kemudian ialah, jika ada cerdas cermat untuk mapel yang diampu guru yang bersangkutan (kalau olimpiade kelihatannya tidak ada), apa juga tidak akan meminta waktu dari pelajaran lain? Sebenarnya hal yang wajar soal tidak masuk kelas itu. 

Komunikasi sekolah perlu diintensifkan sehingga tidak akan ada lagi siswa-siswi yang  mengalami hal yang sama, seperti kisah mirip, ketika nilai agama tidak ada karena siswa merasa tidak menganut agama yang diajarkan di sekolah. Mengubah raport itu mudah, namun apakah mudah menghapuskan trauma, pengalaman, dan tentunya harus hiruk pikik seperti ini.

Prinsip itu penting namun tentunya demi kebaikan anak didik bukan hanya memenuhi egoisme sendiri. Guru memang pekerjaan yang sangat berat dan bukan profesi yang mudah, namun ketika ada jiwa dan memiliki hati di dalam mengajar dan mendidik akan menjalaninya dengan ringan dan sangat menyenangkan.

Kekerasan di sekolah, baik dari guru untuk murid, antarmurid, guru orang tua belum usai, kurikulum yang kacau balau, kejujuran yang belum juga banyak beranjak, eh malah mulai maraj memberikan nilai nol di dalam buku raport.

Saling menghormati dan saling menghargai, termasuk guru menghargai murid dengan segala dinamikanya bisa mengurangi persoalan yang tidak perlu seperti ini. Mengurangi egoisme masing-mmasing dan memiliki prinsip memberikan yang terbaik bagi pihak lain akan sangat membantu.

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun