Cerita keponakan yang diberi perhatian khusus kalau menyatakan hendak mengajukan diri menjadi ketua BEM di sebuah fakultas dari universitas negeri. Ketia ia menyatakan diri untuk maju, reaksi yang diterima adalah itu, agamamu, bukan soal kinerjamu. Ia sharing bagaimana dunia mahasiswa kog sudah seperti itu, ia sudah merasa namun tidak menyangka selugas itu “penolakan” yang akan diterima.
Generasi muda, intelektualis, akademis, namun sudah terpola intoleran
Politik praktis sangat wajar dan manusiawi. Tidak akan bisa disangkal di dalam dunia politik di manapun, hal itu sangat alamiah, bagaimana kekuatan itu dibangun dengan mengeksplorasi perbedaan yang bisa jadi kelemahan dari pihak lawan. Dalam hal ini agama, suku, atau bisa saja hanya beda dalam pandangan sudah dieksploitasi dengan sangat luas oleh timses dan calon yang berseberangan. Negara sekelas USA saja melakukan, apalagi sekelas Indonesia yang masih belajar banyak ini.
Menarik sekali adalah jawaban itu diikuti dengan pernyataan setelahnya, soal kinerjamu sih tidak jadi masalah. Sekarang, apa yang dibutuhkan dalam organisasi kemahasiswaan itu, apakah agama, atau kinerja dalam hal ini tentu sosialitas, keaktivan, relasional, dan jelas nilai akademik. Bisa dimengerti ketika agama itu menjadi pertimbangan akhir ketika telah ada dua yang sama kuat dan ada pada pribadi, bukan justru di awal. Bisa diterima akal sehat, jika itu adalah universitas swasta keagamaan, masih bisa diterima logika.
Apa akibatnya?
Pertama, bisa terjadi sikap curiga atas agama lain, persatuan dan perdamaian yang mau dibangun oleh negara, justru telah terbina di kampus dalam hal yang tidak mendukung ini. Kedua, kelompok yang tidak besar bisa menarik diri dan merasa inferior, kesempatan yang besar untuk semena-mena. Ketiga, perilaku semena-mena dari kelompok yang besar, merasa banyak dukungan dan suara bisa “memaksakan” kehendak, lihat bagaimana bukan soal kinerja. Artinya, bahwa ada yang lebih baik karena beda agama, tidak dipakai, yang penting seagama, ini jelas sektarian dan pola pengkotana.
Keempat, di level sempit, sarana dan tempat belajar saja sudah seperti ini, bagaimana di luar, dalam arti luas politik praktis? Jelas saja menjadi demokrasi seperti yang kita saksikan. Kelima, persaingan bukan soal kualitas namun masih seputar pakaian atau label. Ironis, masa sudah eranya digital, masih saja orientasina label seperti ini. Keenam, agama itu seharusnya membangun persaudaraan bukan justru memisahkan jika sudah dewasa dan menjadi jiwa bagi anak bangsa.
Apa yang bisa dilakukan?
Kesadaran bersama sebagai Bhineka Tunggal Ika. Masa lalu sudah diperjuangkan oleh pendiri bangsa ini, mengapa harus dirusak, justru di era modern seperti ini. Suka atau tidak, mau atau tidak, telah diketok palu bahwa negara ini dibangun di atas berpedaan yang tidak sedikit. Luar biasa banyak, dan itu bisa menjadi kesempatan bukan malah justru pemecah belah.
Agama menjadi jiwa atau roh atau spiritual, bukan semata label, baju, dan pembuaat perbedaan,jika ini disebut sebagai penghambat, mengapa ketika masa perjuangan bisa bersatu? Adanya musuh bersama di dalam perjuangan yaitu Belanda dan penjajah. Ini juga bisa dilakukan ketika mau menurunkan Pak Harto, kesadaran ini perlu menjadi inspirasi untuk kembali melihat jiwa bangsa ini.
Organisasi itu soal kinerja, bukan masalah agama.Berbeda ketika menjadi ketua atau pimpinan dalam hal yang memang soal agama. Lha ini soal organisasi mahasiswa negeri lagi.