Kader dan Non Kader dalam Pilkada dari Risma hingga Jokowi
Setiap pilkada hampir bisa dipastikan tarik ulur soal kader atau bukan. Demikian juga dalam penyusunan kabinet. Berbeda dengan pileg yang jelas itu adalah gawe parpol, siapa yang aktif, dekat, dan bisa merapat ke parpol pasti kader dan bisa ikut pileg.
Unik adalah kepala daerah dan menteri yang bisa terjadi tarik ulur soal kader atau bukan. Profesional atau parpol. Ini semua wajar karena masih belajar berdemokrasi usai sekian lama dalam belenggu otoriterianis. Apakah akan terus menerus “menikmati” masa transisi ini? Tentunya tidak, dan bisa dewasa melihat kemampuan dan kemauan lebih dari sekadar label.
Kader dan Non Kader.
Marak justru ketika di mana partai pemenang namun tidak memiliki kader yang lebih baik daripada keinginan rakyat. Atau kader tidak bisa menjual kapasitasnya untuk bisa dipercaya oleh masyarakat setempat. Apa yang awalnya dialami Pak Jokowi kala mau menjadi calon DKI-1, apalagi presiden, dan awal-awal membentuk kabinet. Hal yang tidak jauh berbeda di alami Bu Risma bahkan hingga bertahun kemudian menjadi duri dalam daging bagi parpol di sana. Tidak berbeda tersaji di Kabupaten Semarang, ketika bupati yang masih menjabat mau maju pencalonan untuk kedua kalinya, di mana-mana ada spanduk yang menyatakan, saiki masane dinggo kadere dhewe.Sekarang saatnya dipakai kader sendiri dengan photo ketua dewan sekaligus ketua dpc. Ini hanya ada diawal jauh sebelum tahapan pilkada dimulai, dan akhirnya tidak juga nyalon.
Apa artinya? Satu, bisa saja itu hanya untuk mendapatkan mahar yang cukup tinggi. Hal ini susah dinafikan apalagi di mana si kepala daerah memiliki banyak kekurangan dan catatan. Gembar-gembor bebas mahar atau politik uang, bisa saja, hanya menggunakan jalur pribadi dan di bawah meja bukan tidak mungkin dan ini bisa jauh lebih boros dan mahal.
Dua, “memaksa” orang potensial untuk menjadi kader. Jika demikian baik demi kemajuan dan modernnya partai politik. Baik sepanjang itu tulus, tanpa pamrih pribadi selain demi masyarakat dan parpol. Hal ini tidak sah dan baik-baik saja demi kelangsungan parpol.
Adanya pemahaman parpol mahal sebagai pemicu ketiga. Hal ini masih susah dihilangkan. Tidak heran banyak orang yang enggan berorganisasi dalam parpol. Mahal, banyak iuran dan tagihan ini dan itu.
Kegagalan parpol membina kader, empat. Ini bukan rahasia umum bagaimana kaderisasi mampet di parpol di sini. Parpol hanya fokus pada pileg dan pilpres dengan budaya instan, ambil yang tenar, sekalipun itu terkenal karena hal yang buruk. Artis yang jelas sudah memiliki nama. Jelas bukti kalau parpol gagal mengadakan kaderisasi.
Lima, sistem berjenjangdidalamparpolyang amburadul. Jangan kaget tiba-tiba ada orang sudah ada di jajaran DPP atau dewan pusat, padahal di tingkat rantingpun sama sekali belum. Potong kompas dan karakter instan bisa membuat frustasi kader militan. Uang dan ketenaran biasanya menjadi panglima mengatasi jenjang karir berpolitik ini.
Enam, lemahnya ideologi parpoldi negara ini. Bagaimana bisa semua parpol dilamar sedangkan sering pula ia menghujat parpol yang bersangkutan. Mengapa demikian? Kuasa bukan soal idealisme ideologi parpol.
Tujuh, masih lebih menjanjikan dengan uang daripada berjuang dari pengalaman berorganisasi di parpol. Bukan lagi rahasia umum ketika ada istilah serangan fajar, politik uang, dan sembako politik. Ini semua menjadi jalan tol daripada susah-susah yang belum tentu sukses.
Delapan, pengusaha dan penguasa masih bisa berkolaborasi. Ini ranah etis di mana seharusnya mereka saling berjarak. Tidak heran susah maju karena saling melindungi kepentingan, jangan heran kalau rakyat hanya menjadi penonton dan pemirsa atas dagelan mereka di elit sana.
Sembilan, sikap kanak-kanak yang masih merasa iri dan cemburu berlebihan. Jika sudah dewasa dan matang dan berpikir soal pembangunan bukan lagi saatnya membesar-besarkan soal label atau pakaian, model asal-usul ini.
Hidup matinya parpol memang berdasar atas adanya kader dan proses atau kaderisasi yang baik. Namun tentunya bukan kader berarti itu tidak bisa berbuat bagi bangsa dan negara. Apa yang perlu dilakukan parpol untuk ke sana?
Pertama, sadari keberadaan parpol sebagai pelayan atau abdi masyarakat, maka wakli rakyat namanya, bukan malah menguasai rakyat. Jika demikian yang menjadi pertimbangan dan fokusnya adalah masyarakat. Kesejahteraan rakyat dan pembangunan menjadi yang utama. Siapapun yang terbaik bgai rakyat akan didukung.
Kedua, aktif di parpol bukan menjadi profesi. Artinya bahwa aktivitas di parpol itu bukan untuk mencari uang atau matapencaharian. Jika demikian jangan heran akan maling kala bisa dan mendapatkan kesempatan.
Ketiga, penguatan ideologi partai, sehingga maling akan malu, menyeberang partai sebagai sebuah cela, dan pelaku kriminal, terutama korupsi jangan lagi diterima di partai manapun. Sekarang dipecat A di partai B menjadi pahlawan. Memerlukan kesamaan persepsi sehingga maling uang negara bukan lagi apes, sial, atau dizolimi. Apes bisa dimengerti jika hidupnya sederhana namun di rekeningnya ada dana siluman. Bukan lagi apes kalau hidup mewah, minta uang suap lagi, sedang pekerjaan tidak jelas.
Keempat, penyederhanaan parpol. Hal ini menjadi penting sehingga benar-bear bisa militan dan memegang teguh norma.
Benar bahwa banyak yang idealis dan cenderung utopis, namun jika selalu mengatakan menuju ke sana, permisif atas pelanggaran dan bahkan kriminal sekalipun, jangan harap akan beranjak maju. Apakah bisa? Bisa sepanjang ada kemauan dan kehendak yang kuat.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H