Eit tunggu dulu, jangan emsosi eh emosi dulu, ini soal pilkada, bukan seperti “perselisihan” dua pimpinan itu, itu sudah lampau. Lewat, tidak panas lagi, dan sudah berganti yang baru. PDI-P kemungkinan sangat besar mendukung AROT, Ahok-Djarot, usai Bu Dhe Ketum memanggil Ahok, kemarin sore. Artinya apa? Jakarta di dalam pilkada akan seru di jauh sebelum tahapannya, tapi sepi di dalam pilkadanya sendiri, sama kan atau tidak beda dengan Pilwakot Surabaya lalu.
Pertarungan Surabaya lalu menjadi berkepanjangan karena tidak ada parpol ataupun perseorangan yang mau dan berani maju untuk kalah. Berbagai cara dipakai, hingga pendaftaran pun diperpanjang, begitupun masih sepi dan untung “PAN” yang kala itu pengin kursi menteri dan menunjukkan kesetiannya kepada pemerintah, dan tentu PDIP mau mengajukan calon.
Sebelumnya kisah panjang menjadi bahan cerita saat lawan jerih untuk menghadapi pejabat yang nyalon lagi dengan prestasi moncer. Sudah ada di KPU mlipir dan hilang. Ini memang Surabaya yang heroik. Sudah ada calon pun masih berkisah soal ijazah yang tidak ada. Akhirnya berjalan dan ya sudah berjalan begitu saja, sepi. Beda dengan waktu sebelumnya yang hingar bingar.
Jakarta, mirip ini, akan sepi pada hari pelaksanaan.
Hingga waktu ini yang santer adalah dua calon tanpa pasangan Ahok dan Sandiaga. Keduanya belum memiliki pasangan tetap dan pasti, baru sendirian, beda tipis Ahok pasti gubernur, kalau Sandiaga belum ada kepastian. Cuma soal kandidat terkuat ada pada Djarot sebagai wakil Ahok dan Saefullah sebagai pasangan Sandiaga.
Soal independent sudah banyak dibahas kala itu. Ini kelihatannya tidak mudah untuk tetap maju, meskipun tidak mustahil paling juga hanya menjadi pelengkap dengan perolehan suara tidak jauh-jauh bisa menjadi pesaing yang diusung parpol.
Paling berpotensi membuat gebrakan dan ramai-ramai ada pada Golkar, meskipun kelihatannya tidak begitu besar, melihat selama beberapa waktu ini telah menjadi “anak manis” di dalam perpolitikan tanah air. Sama sekali tidak berulah yang membuat gaduh keadaan. Apakah karena ketum yang telah terjerat dengan ekor sendiri atau sedang konsolidasi, itu kajian yang berbeda.
Keramaian proses pilkada sudah pada ujungnya. Luar biasa riuhnya hingga ke mana-mana, ada deparpolisasi, saat Ahok menyatakan memilih bus kota yang bernama Teman Ahok. Pengumpulan KTP pun masih menjadi biang ramai dengan berbagai-bagai sebab. Salah satu yang paling panas tuduhan KTP ganda oleh pelaku penggandanya sendiri. Ini hanya punya sebelum-sebelumnya juga ditingkahi dengan sumpah mau terjun dari Monas, adanya KTP yang dikatakan dicolong, atau dananya dari mana, dan banyak lagi.
Soal verifikasi faktual yang demikian cepatnya direspons oleh dewan pusat, mereka kerja responsif dan cepat lho, heboh lagi, upaya cegal Ahok lagi, dan sebagainya. Lha memang hanya Jakarta yang punya calon independen? Tidak, dan banyak kog ngapain baru kali ini geger? Ini hanya bagian ujung dari berbagai-bagai kasus yang intinya, Ahok tidak bisa nyalon.
Ahok banting stir pilih parpol, ramai lagi, potensi benturkan TA dengan parpol besar, namun bisa teratasi, muncul gerombolan kekeluargaan, sebagai pesaing karena satu saja parpol lompat meninggalkan Ahok, Ahok tamat begitu kira-kira idenya. Berjualanlah tokoh Gerindra M. Taufik dengan Sandiaga Uno-nya, menantikan PDI-P, dan muncullah Saefullah sebagai pelipur lara. Akhirnya hilanglah nama-nama yang ramai diperbincangkan selama ini. Ini fokus pada gubernur
Selain itu juga ada yang ini, parpol yang mengadakan penjaringan, dan calon yang lucu-lucu, tiba-tiba merakyat, masuk pasar, memunguti sampah, mendaftar di mana-mana padahal secara ideologis dan pribadipun sering bertikai, tidak jadi alasan, mau mengusung ini itu, dari mana-mana nama yang berpotensi bisa menjual dikatakan dan dipromosikan. Ada dari Bantaeng, Bojonegoro, Batang, Bandung, Surabaya, dan entah mana lagi.
Pelaporan ke mana-mana, pertikaian dengan lembaga negara yang disukai oleh bukan pendukung Ahok, bahkan ada yang khusus mengagendakan apel rutin ke KPK, coba apa tidak hebat. Penertiban aliasa penggusuran yang dibesar-besarkan, kini juga sepi saja.
Pensiunan jenderal hingga jenderal yang sedang berperang pun ditarik-tarik demi menang di Jakarta. Kini semua usai, tidak akan ada lagi tarik ulur dengan daerah, tinggal menunggu detik akhir seperti apa. Apakah masih ada upaya lain? Layak ditunggu kalau begitu.
Ini akan benar siapa, Ahok atau Risma? Akan identik, hanya ramai pas pencalonan, pendaftaran, dan proses awal saja. Waktu pelaksanaan akan sepi dan tidak ada kegaduhan berarti.
Tugas berat adalah KPU untuk memikirkan waktu dan hari pelaksanaan jangan sampai itu adalah dekat dengan libur panjang dan jangan harap angka pemilih tinggi. Milih berlibur daripada pilkada. Ini menarik berkaitan dengan ide mengatur ulang jadwal pilkada serentak.
Dinamis dan semarak, bukan berarti semau-maunya sebenarnya. pelajaran berharga dari Kota Surabaya dan DKI ini bisa menjadi pembelajaran ke depan.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H