Olimpiade 2016 sudah berlangsung dan hampir usai. Target yang ada adalah tradisi emas kembali dengan andalan dari cabor bulutangkis. Menyaksikan perjuangan sepanjang turnamen akbar ini, kita patut belajar banyak, karena negara-negara ASEAN mulai memanen proses mereka, Singapura, Thailand, Vietnam, Malaysia, belum lagi negara Timur Tengah dan Timur Jauh seperti Jepang, Korsel dan China.
Mendengar wawancara Prof. Yohanes Surya di televisi, ada beberapa hal yang bisa dijadikan cermin bagi pemangku kebijakan dari menpora hingga jajarannya. Tidak ada prestasi yang tidak melalui proses panjang. TOFI merasakan dan menyadari hal itu. Proses panjang perjuangan yang membawa prestasi kali ini.
Dulu, Prof. Yohanes mengatakan bahwa negara-negara lain tidak pernah akan mengangap tim dari Indonesia. Wajar karena memang belum bisa bersaing karena masih awal-awal. Kini mereka respek dan bertanya target kali ini berapa emas. Lihat betapa jauh perbedaan sikapnya.
Kesadaran bahwa luas Indonesia itu dari Sabang sampai Merauke, sangat luas, dan itu potensi. Maka TOFI jemput bola untuk menemukan talenta yang masih terpendam yang terbatas oleh akses yang terbatas. Anak cerdas bukan hanya milik kota besar saja, dan itu terbukti.
Keterbatasan pendamping, TOFI mengadakan pelatihan untuk ibu-ibu dan tentara yang ada di daerah. Dengan demikian, banyak orang pintar yang menyiapkan calon anak pintar ke depannya. Terobosan yang baik sehingga tidak menantikan talenta dan bakat luar biasa itu datang namun dibina di tempat masing-masing.
Olimpiade Olah Raga
Jauh lebih berpengalaman dan berkiprah, namun maaf, pembinaan sangat rendah. Lebih sering terdengar kisruh dan rebutan pengurus daripada seleksi atlet atau pembicaran pengembangan bakat-bakat muda, atau hasil gemilang dari sebuag turnamen atau kejuaraan.
Fokus pada tradisi namun lupa pembinaan. Menggaungkan lanjutkan tradisi emas, namun bulutangkis yang pernah menjanjikan itu, kembali  ke masa lalu, malah kalah dengan negara tetangga seperti Vietnam. Negara lain bergerak maju, Indonesia hanya bangga akan masa lalu. Ini hampir pada semua bidang olah raga.
Salah fokus,sepak bola menghabiskan energi, namun sekelas AFF saja belum bicara, apalagi piala Asia, apalagi dunia, Sea Games saja baru beberapa kali, apalagi Asian Games, dan Olimpiade. Coba berapa energi, dana, dan perhatian untuk cabang ini, biarkan saja untuk hobi, dan genjot yang telah membuktikan. Angkat besi, dayung, panahan, dan kembalikan bulu tangkis.
Jemput bola, di pelosok itu banyak atlet alam. Atletik, renang, dayung, dan bisa pula panahan itu terbentuk karena kebutuhan di daerahnya. Dan itu tidak salah, hanya perlu pembenahan teknik dan taktik yang berbuah prestasi. Peran pemerintah itu mencarikan sponsor. Ini menjadi persoalan untuk cabor yang tidak tenar, namun dengan pendekatan oleh pemerintah tentu bisa, apalagi kalau menjanjikan prestasi.
Seleksi rutin dan berjenjang,dulu masa Orba, kegiatan olah raga itu rutin ada, sekarang hanya ramai pas dekat ada kegiatan sekelas PON, Sea Games, dan seterusnya. Hal ini tidak bisa dilakan, model belajar SKS, dan itu identik di dalam olah raga.