Heran benar negeri ini, semua-mua bisa menjadi heboh. Beras pun palsu yang ternyata hanya mengguncang tidak lama, karena sangat tidak logis dengan beaya produksi yang jauh lebih mahal dengan yang asli, uang palsu berabad-abad tidak kunjung usai, muncul kini kartu BPJS palsu, mengekor berbagai hal palsu.
Menarik soal tarik ulur vaksin palsu di dalam menyelesaikan, hingga kini ya begitu, namun juga ada yang berbeda dengan pemiskinan dengan begitu cepat, bandingkan kasus mantan sekretaris MA, Nazarudin, dan para maling yang lain, apa mereka sudah miskin benaran? Paling tidak harta hasil maling mereka sudahkah dikembalikan kepada negara?
Mie Bikini
Bagi yang merasa sebagai punggawa moralis, paling suci dan benar, tidak perlu menghakimi tulisan apalagi orang lain, dalam hal ini saya, lebih baik, buat saja tulisan sendiri. Kisah inspirasi dalam Awarness,Antonny de Mello mengisahkan, serombongan anak pramuka sedang berjalan-jalan lintas alam. Mereka didampingi seorang bruder, (biarawan di Gereja Katolik). Namanya anak-anak mereka berjalan sangat cepat, dan pembimbing dengan beberapa anak yang tidak cukup kuat, tertinggal cukup jauh. Di tengah perjalanan mereka bersitirahat sambil menunggu pembimbing dan rekan lainnya. tiba-tiba mereka menyaksikan seorang perempuan yang oleh orang dewasa dijuluki sebagai si pelacur sedang duduk-duduk di sana. Salah seorang yang paling besar tahu namanya pelacur itu bisa dibayar untuk melakukan apa saja.
Maka ia mengajak rekan-rekannya untuk patungan mengumpulkan uang dan dipakai untuk membayar perempuan itu. Mereka memberikan uang kepadanya dan memintanya untuk menari. Dengan senang hati mau menari, dan anak-anak itu berkeliling sambil bertepuk tangan. Sama sekali tidak ada yang terjadi selain ada perempuan menari anak-anak bertepuk tangan dan mengelilinginya. Tiba-tiba sang pembina datang dan menghardik mereka termasuk perempuan itu. Hardikan dengan kata-kata, kalian berdosa.Padahal Cuma menari dan tepuk tangan, meskipun ada transaksi, sesuai konteks anak, menari tidak lebih. Orang dewasa menerjemahkan sebagai membayar pelacur.
Pornoatau tidak, mesum atau tidak, itu tergantung pemaknaan. Di Google coba saja buka situs baik-baik, pertanian atau peternakan misalnya, tidak jarang akan ada iklan cewek mengenakan bra yang kekecilan, atau ikan burung emprit mau dijadikan elang dengan visualisasi amat jelas dan tanpa sensor. Batasan pornografi sendiri masih sumir. Tidak heran di sini itu porno di tempat lain biasa, di tempat yang berbeda sudah heboh.
Soal mau mesum, porno, atau menghargai sebagai buah kreasi sudah dibahas berkali-kali termasuk di K ini, saya hendak mencoba sisi lain, di mana penyelesaian kasus demi kasus yang bisa berbeda-beda. Dalih pasti prosedural, bukti, dan meresahkan masyarakat itu akan mengiringi setiap kasus yang ada.
Soal korban antara mie, vaksin, dan pernyataan FB itu secara gradasi tentu semua sudah tahu, mana bobot terbesar dan terberatnya. Menjadi aneh dan ajaib justru respons paling cepat dan tegas pada mie yang “korban”-nya belum tentu ada, belum banyak (baru sekian tahun, bandingkan dengan vaksin yang 11 tahun, narkoba, puluhan tahun).
Pelaku, menarik adalah pelaku mahasiswi, muda, belum memiliki jejaring, bandingkan dengan kasus vaksin yang menyeret institusi, jejaring baik ekonomi ataupun medis, tentu tidak segampang mie ini. Pelaku utama pembuat vaksin tekah dimiskinkan, kembali bandingkan dengan pelaku maling berdasi seperti Nazarudin, malah mantan sekretaris MA belum diapa-apakan. Mengapa berbeda? Karena ada lingkaran yang bisa terkena imbasnya, namun juga bisa melindungi sehingga bisa leluasa untuk berbuat dan berjalan dengan relatif lebih aman.
Melibatkan lembaga negara, terutama TNI. Polisi aktif hingga bintang dua sudah pernah dipidana. Salut dengan KPK dan polisi meskipin sakit hati, toh terbui juga. Tentara hingga kini belum pernah tersentuh sama sekali kecuali yang kelas bawah sebagaimana ini (sumber). Menarik di sana dinyatakan kalau ada seorang sersan mayor yang telah dipecat dan diproses karena mengirim narkoba dari China ke koperasinya. Apa iya setingkat serma bisa “mengimmpor” dan “menjual” di koperasinya? Belum lagi soal pengakuan “naif” sang jenderal polisi, bahwa jal beli melibatkan petinggi itu “tabu?” Lho??? Ini salah editor Kompas.com, wartawan, atau Pak Jenderal, maksudnya tabu? Atau hendak mengatakan sekarang ini sudah biasa banget begituan itu, bukan barang aneh lagi? Atau maksudnya bukan barang “baru??”.
Apakah pembuat kreasi mie ini kalau tentara, polisi, atau korporasi juga akan sesigap ini? Atau di balik, jika sang serma itu pangkatnya mayor dan diikuti jenderal begitu juga akan disidang dan dipecat?
Belajar dari penyelesaian kasus demi kasus di Indonesia, bisa dinalar, kalau mau aman, jangan bisnis sendirian, apalagi menyerempet-nyerempet bahaya. Meskipun pengaruhnya belum ada, bisa jadi sangat besar karena tidak memiliki jejaring dan pembela yang mumpuni. Mampus sendirian.
Jangan tanggung-tangung, gede sekalian, artinya bisa bayar dan melenggang begitu saja karena uang hasil penjualan bisa membeli pasal dan menghampat proses yang berjalan. Kasus sekretaris MA hingga jadi mantan sama sekali belum beranjak lho....
Hati-hati melaporkan sesuatu, bisa-bisa berlaku praduga bersalah kala melapor kalau yang dilaporkan itu penggede, baik kursinya, dompetnya, atau ototnya. Yang dilaporkan memiliki azas praduga tak bersalah, bahkan tidak pernah salah, dan salah-salah masuk bui dan yang dilaporkan tetap jadi maling. Kembali falsafah anjing menggonggong, nyolong tetap nyelonong.Kasus vaksin, termasuk BPJS palsu ini sebenarnya hanya salah satu koreng kecil di dunia kesehatan. Dan selama ini bisa berjalan begitu saja.
Apakah revolusi mental hanya angin surga kampanye saja? Kala yang menjalankan hanya satu dua, sedangkan jauh lebih banyak yang tetap bermental kere dan seenak udelnya dhewe? Sama sekali tidak menyalahkan presiden yang mengangankan ide besar perubahan radikal pada perilaku bangsa ini, namun tetap saja, karakter dan tabiat yang selama ini telah menganut aturan tanpa aturan itu tetap berjalan.
Salam
Sumber Awarness, Kompas.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H