Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Wiranto, “Turun Gunung” untuk Menjaga Panggung?

2 Agustus 2016   07:36 Diperbarui: 2 Agustus 2016   12:18 4352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum Keamanan Wiranto dan Menteri Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis (28/7/2016). (Kompas.com/ABBA GABRILLIN)

Reshuffle dihebohkan dengan lengsernya Pak Anies dengan berbagai dinamikanya, yang lain memang dinilai “wajar” dan tidak ada yang mengagetkan. Satu yang bagi saya cukup mengagetkan ketika Pak Wiranto turun gunung.

Mencoba menjadi presiden dengan jalur resmi melalui pemilu, dikerjain Golkar, atau sebenarnya bisa memainkan kartu kala Pak Harto tersudut, malah kini jadi menteri bagi pemerintahan yang memang partainya usung.

Sangat menarik jika menilik orientasinya adalah presiden namun turun menjadi menteri polhukam yang pernah ia sandang di pemerintahan lalu. Mengapa mau-maunya, sudah memiliki partai yang dipakai untuk ia kendarai, usai dikerjai Golkar di masa lalu.

Menjaga Panggung

Beberapa waktu lalu ada kisah soal penculikan dan salah satu purnawirawan jenderal “bisa” menarik simpati. Peristiwa penculikan terulang lagi dan lagi. Panggung yang sempat direngkuh sang jenderal bisa mengubah arah angin perpolitikan yang akan mulai stabil ini.  Tidak heran bahwa faksi-faksi dalam sebuah lembaga, organisasi, dan kelompok, dan itu bisa mengubah peta yang hendak dibangun tentunya, ketika salah satu faksi dapat mengambil panggung tanpa adanya “punggawa” yang sepadan.

Apakah Luhut kalah garang? Militer mengenal senioritas yang sangat kental. Pak Luhut masih setara dengan para “pencari” panggung ini dan mereka biasa saja, tidak perlu sungkan lagi. Tidak merasa melangkahi senior yang bisa dinilai tidak patut dalam hirarkhi militer. Keberadaan Pak Wiranto yang jelas jauh lebih senior, tahu dengan baik para pencari panggung di masa itu, atasan langsung jadi tahu dengan baik reputasi, rekam jejak kinerja mereka, dan apa yang mereka lakukan di waktu itu.

Suara-suara miring soal PKI, kebangkitan komunisme, permintaan maaf, dan soal ’65 seolah ada angin lain selain dari pemerintah. Menghan yang sangat senior sempat mengadakan kegiatan yang condong dan ikut arus yang tidak senetral sebagaimana istana kehendaki. Ini bisa menjadi bumerang yang sangat telak bagi pemerintah, mau mengganti semua juga paham siapa di balik sosok ini, perseteruan frontal tentu tidak efektif, atasan langsung adalah yunior di militer, malah membawa angin segar bagi beberapa pihak pencari “pangung”, pilihan efektif adalah memberikan “bumper” yang jauh lebih senior dan memiliki pola pikir yang sejalan dengan pemerintahan.

Apa Manfaat yang Diperoleh?

TNI sudah mendukung penuh pemerintahan sejak awal. Purnawirawan pun dengan demikian bisa lebih memberikan dukungan daripada “perselisihan” mencari panggung. Paling tidak di kubu purnawirawan tidak lebih besar yang “mengganggu” perjalanan pemerintahan. Meskipun mereka tidak punya senjata namun tetap saja mereka masih bisa memberikan tekanan dan pengaruh yang tidak kecil. Keluarga besar militer lebih banyak yang mendukung daripada yang mencari panggung harapannya.

Kondisi keamanan tidak makin mudah dengan beberapa kali bom, malah kembali tindak intoleran, soal hukuman mati, masalah dengan negara tetangga berkaitan dengan penculikan, dan perselisihan di luar yang secara tidak langsung bisa membawa Indonesia, seperti Laut China Selatan, diplomasi luar negeri perlu dibarengi dengan kekuatan polkam yang lebih kuat. Kemenlu selama ini kedodoran karena pilihan politik lalu yang mencari kawan, lihat soal uang tebusan di kawasan Timur Tengah yang makin besar, juga uang tebusan penculikan yang berulang. Diplomasi dari kemenlu perlu juga dukungan militer, bukan secara langsung, namun di balik layar dan itu penting dilakukan.

Harapan lebih mendasar adalah pemerintahan bisa berjalan lancar, wajar, tanpa gangguan yang tidak penting. Kritikan, masukan, dan pengawasan itu jelas dan harus bahkan, agar berjalan dengan baik dan tidak semena-mena. Selama ini bukan masukan, namun cenderung gangguan yang justru menghambat pembangunan, kembali malah rakyat dan bangsa ini yang dirugikan.

Berdemokrasi itu esensinya siap menang dan juga siap pula kalah, tidak ada draw atau seri, yang menang berkuasa dan biarkan jalannya. Kebijakan baik didukung yang tidak baik dikritisi, selama ini baik atau buruk dipakai untuk menelikung. Pemenang tidak bisa leluasa menjalankan roda pemerintahan.

Ada yang menang tentu ada yang kalah, namanya juga kompetisi, yang kalah tidak perlu mencari-cari kesalahan, namun siapkan amunisi ke depan untuk mengambil alih kepemimpinan di saat pemilu, apa yang bisa dilakukan, kampanye melalui perilaku yang baik, kritis untuk memberikan kesejahteraan bagi rakyat, bukan asal berbeda dengan eksekutif atau pemenang pemilu.

Menciptakan lembaga dewan perwakilan rakyat yang bermartabat. Presidensial harus ditegakkan, bukan malah setengah-setengah seperti saat ini. Dengan demikian legeslatif bisa berjalan dengan efektif dan sama bangganya, bukan malah mengincar eksekutif terus.  Pengawasan bisa berjalan baik dan setara tidak hanya fokus pada pemerintah saja.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun