Teroris Mati dan Kelanjutan Teror
Pemberitaan media soal kematian teroris Santosa masih sangat hangat. Mengenai siapa dia, asalnya dari mana, bagaimana bisa menjadi gembong cukup besar, bagaimana hidupnya di hutan, dan banyak lainnya. Berbicara mengenai terorisme menarik adalah, media akan melakukan investigasi, mengulik banyak hal, dan tidak ketinggalan mengenai analisis-analisis bagaimana kelajutan dari “organisasi” itu.
Teroris mati, teror baru terbentuk.
Perlu dipahami bersama, namanya teroris itu melahirkan dan menciptakan ketakutan untuk massa. Aneh dan ajaib kalau salah satu tokoh yang cukup besar malah mendramatisir bagaimana nanti lahir generasi baru, penggantinya, atau siapa yang kira-kira akan mengambil alih. Lebih meneror lagi jika, media malah mencari, membesar-besarkan siapa saja tokoh yang berpotensi menjadi pengganti yang mati tersebut. Ingat mereka juga menggunakan media untuk propaganda. Artinya, bahwa mereka sangat tahu siapa saja yang dinilai layak, pantas, dan menjadi pengganti. Ini menimbulkan semangat baru, bagi mereka yang awalnya tidak berani menjadi berani dan menjadi besar. Jika tidak bisa di kelompok yang sama, bisa saja malah menyempal dan menjadi sel baru dengan lebih heboh, dan cenderung ngawur.
Media sosial marak dengan pemaknaan soal kepahlawanan pelaku teror.
Selalu saja “terjemahan” kematian dengan tragis tersebut dengan sosok pahlawan, tersenyum, bahagia, dan sejenisnya. Ingat ini bukan soal agama.Negara melalui BNPT dan pemangku kebijakan perlu bersikap tegas dengan hal-hal demikian. Gambar dengan narasi berlebih-lebihan bisa menarik bagi orang yang tidak sepenuhnya mengerti. Sekilas saja langsung percaya bahwa negara telah berlaku biadab pada pejuang. Padahal tidak demikian. Hal ini bukan sekali dua kali selalu saja hadir dan belum ada tindak nyata dari pihak-pihak yang berkait.
Setuju soal perjuangan, jika itu mengatasi kemiskinan, narkoba, maling berbagi bentuk, mereka pahlawan dan itu saya dukung. Namun jika membunuh polisi, orang yang sama sekali tidak bersalah? Perjuangan apa? Berbeda jika mereka menembak maling baik berdasi, berjas, dan berbaju seragam, yang berseragam namun masih maling, dan sama sekali belum terdengar gerakan itu. Atau gembong narkoba yang petentang-petenteng itu ditembak bisa lah dimengerti. Tentu berbeda ketika petani tidak tahu apa-apa dipenggal atas nama penghianatan.
Pembelaan boleh untuk pelaku bukan perilaku.
Beberapa pihak selama ini mendesak densus dan kepolisian untuk berlaku lebih baik dan bahkan ada wacana untuk memberikan pengawas untuk densus. Boleh dan baik jika pelaku yaitu orang tersebut dibela haknya, namun bukan perilakunya yang membunuh dengan tanpa merasa bersalah. Mengatakan negara dengan berbagai-bagaikata buruk namun tetap hidup di sini, serta malah melupakan korban yang jauh lebih banyak. Bagaimana keluarga mereka (keluarga teroris juga korban lho, keluarga korban perilaku biadab mereka, dan banyak lagi).
Semua diam dan tidak ada komentar mengenai perilaku mereka yang membawa korban begitu besar, termasuk negara yang harus mengeluarkan beaya ekstra demi memperbaiki hidup dan pemikiran mereka. Apalagi jika sudah pernah minta bantuan negara untuk memperbaiki hidup malah dipakai melawan negara. Jika mengulangi lagi apakah masih pantas dibela mati-matian? Tentu tidak bukan? Pembelaan boleh dan sah-sah saja asal proporsional dan bukan selalu menyalahkan negara namun diam ketika negara bertindak benar.
Negara tentu telah memiliki pengertian, batasan, dan tindakan sendiri.
Kesetiaan dari seluruh elemen bangsa untuk mempercayai negara dan aparatnya untuk bertindak. Kritis, beda pendapat, dan kritik boleh, namun bukan malah meneror negara dan membela teroris dengan bahasa baik lugas ataupun terselubung. Lebih berbahaya lagi jika teroris itu jelas-jelas saja salah, ada bukti kuat, dan saksi yang membuktikan, namun malah menyatakan negara yang salah. Berbahaya bagi kehidupan bersama karena jika demikian mana yang mau dipercaya.
Negara salah dan para teroris benar, bisa menimbulkan kekerasan dari pihak yang merasa dendam pada negara dan simpati pada teroris. Padahal sangat jelas negara sah secara konstitusi, jika tidak setuju, ajukan saja ke pengadilan, dewan, dan buat organisasi sah apalagi jika parpol untuk memenangi pemilu dan berkuasa secara sah di mata hukum.
Musuh bersama.
Sikap yang sama untuk menilai dan memandang teroris sebagai musuh bersama. Masyarakat ini sakit, ketika mencurigai orang yang berbuat baik dan membela orang jahat yang menebarkan ancaman dan pembunuhan. Hal ini berbahaya bagi generasi muda yang masih labil dan sedang dalam pencarian jati diri. Salah-salah malah membela dan mendukung yang pada dasarnya jahat.
Sekali lagi simpati dan membela boleh, asal proporsional dan bisa mengubah keadaan bukan malah membuat makin buruk. Selama ini negara seperti bekerja sendiri dan banyak anak negeri yang masih mendukung dan seperti mau enaknya ambil uang negara dan membuat mereka makin besar. Mereka mati kemudian mereka yang mengambil alih kekuasaan. (mendua di antara negara dan teroris)
Teror apapun bentuknya, motivasinya, caranya harus dihentikan. Biarkan pemerintah memimpin dengan tenang, jika tidak puas, masih banyak cara bisa dipakai untuk membuat keadaan makin baik. Kekerasan bukan lagi waktunya dipakai untuk memaksakan kehendak dan memperbaiki keadaan.
salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H