Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menanya Sense of Crisis DPR, LSM, dan Ormas Soal Terorisme

8 Juli 2016   07:01 Diperbarui: 8 Juli 2016   08:55 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menanya Sense of Crisis DPR, LSM, dan Ormas Soal Terorisme

Hari Raya Idul Fitri telah menjelang, namun perilaku, bodoh, biadab, dan miris kembali terjadi. Penangkapan demi penangkapan terduga pelaku teror banyak, namun masih juga ada kisah bom bunuh diri di Solo. Tanya yang seolah mengembara tanpa adanya ujungnya, ketika perilaku untuk begitu bebas, leluasa, dan merajalela.

Bagaimana tanggapan dewan, ormas, LSM, dan lembaga negara lain, bandingkan dengan teriak lantang mereka soal kematian almarhum Siyono, atau gegap gempitanya dewan mengajukan gagasan untuk pengawas Densus 88, atau pembelaan demi pembelaan yang diajukan kala ada ide pelaksanaan hukuman mati. Apakah karena lebaran nuansa fitri, liburan, dan sedang mudik, mereka seolah diam seribu bahasa?

Bagaimana berkali-kali BIN, kepolisian, BNPT mengeluhkan “longganya” UU mengenai terorisme. Pelaku teror akan bisa ditangkap jika sudah melakukan aksinya, bahasa awam yang saya pakai, jika belum bisa ditangkap. Apa bedanya orang mau berak, baru membuat kakus atau jamban? Beberapa bulan lalu di salah satu pegunungan di Temanggung ada pelatihan ala militer, namun hukum tidak bisa menjerat mereka. Berbeda dengan hukum “represif” era orde lalu, atau hukum di negara Malaysia.

Bolehlah bicara soal HAM, demokrasi, kebebasan, dan tetek bengeknya, namun itu harus dibarengi tanggung jawab dan sikap moralitas tinggi. Itu semua lewat jika perilaku manusianya masih seenaknya sendiri, bisa menerjemahkan hukum sesuai konteks dan keinginan masing-masing. 

Sepakat bahwa negara menuju ke sana, namun bagaimana LSM menuduh presiden melumuri darah ketika mau menghukum mati pelaku perdagangan narkoba, namun kini mereka diam saja melihat polisi hendak dicoba diledakkan? Apakah ini tidak melumuri darah bangsa ini dengan pilihan naif dan ironis, saat aparat negara yang dijamin UU mau dibunuh dengan keji?

Jika mau menegakkan keadilan dan kebenaran, mengapa tidak meledakkan Joko Susilo polisi korup itu?  Atau ledakkan saja polisi lalu lintas yang sedang malak dengan alasan UU namun menindak  di luar prosedural itu? Lahan menegakkan kebenaran itu beribu jalan. 

Bagaimana ormas berteriak lantang meminta polisi menyeret oknumnya yang membunuh terduga teroris, membongkar makamnya, menyatakan ada dugaan pembunuhan? Itu bagus, sah, dan membela yang harus dibela? Namun kini, ketika kantor polisi dicoba diledakkan, mengapa tidak terucap sekecap saja ucapan? Apakah suara untuk kebenaran itu tidak ada? Jika iya, polisi yang diberi wewenang kalah terhormat dari terduga teroris? Ini mungkin terlalu berlebihan, namun itu adalah  fakta yang ada.

Kembali lagi kebebalan atau memang tidak tahu tugasnya dewan periode ini? Berkali-kali teroris melancarkan aksinya, berulang-ulang bom dirakit dan diketemukan, berkali pula aparat negara menjadi korban, namun sekalipun mereka belum pernah berteriak-teriak sekencang soal revisi UU pilkada, atau wacana pembentukan pengawas densus. Luar biasa kinerja, ide, dan pola pikir yang mulai anggota dewan ini.

Pembiaran demi pembiaran, dan cenderung telah menjadi sebuah pembenaran, ketika ormas tidak mau mencantumkan Pancasila sebagai dasar mereka masih bisa berteriak dengan lantang menghujat negara, pemimpin negara, dan tidak jarang penganut agama lain. Ingat ini bukan semata SARA namun fakta yang terjadi selama ini. Penindasan dan kekerasan atas nama hukum dan kepercayaan kelompok masih merajalela.

Kesetiaan akan azas yang masih lemah. Indonesia telah sepakat dan banyak yang menilai sebagai harga mati dengan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika, namun seorang tokoh masih dengan bangga mengatakan itu semua sebagai kendaraan saja, dan tidak ada tindakan tegas. Sebuah hal kecil namun fundamental telah tergadaikan dan terabaikan dengan sangat telak.

Hukum masih bisa ditafsirkan secara suka-suka. Hal ini membuat semua berantakan. Bagaimana tidak, saat kelompok yang dominan bisa mengarahkan hukum sekehendaknya mereka. Yang kecil dan lemah harus ikut, tidak mau berarti harus keluar. Ini negara bukan rimba. Bagaimana manusia menggunakan hukum rimba? Ini bukan beradab namun biadab.

Orang masih belum taat akan konstitusi namun lebih takut pada nama baik, konstituen, dan kekuasaan, ironisnya kelompok yang abai akan kebersamaan ini bisa memutarbalikkan keadaan untuk kepentingan ndompleng pemimpin lemah. Kita bisa saksikan bagaimana kelompok yang suka kekerasan dan seenaknya sendiri difasilitasi negara dalam hal ini polisi agar tidak terjadi kekerasan. Polisilah yang berperan untuk menyelesaikan bukan memindahkan kebaikan karena ada yang keberatan.

Egoisme dan keakuan yang demikian tinggi dari beberapa kelompok. Pemaksaan kehendak dan kesenangan kalah menang dalam menyelesaikan persoalan. Alangkah indahnya jika penyelesaian keadaan itu dengan menang-menang, menang tanpa ngasorake,tidak ada yang dipermalukan, semua menang.

Pemaksaan kehendak, model perilaku, dan sikap pemaksaan kehendak masih kuat dalam pribadi belum dewasa, emosional, dan maaf bodoh. Pertimbangan tidak matang yang akhirnya membawa pada keadaan intimidatif, kekerasan, dan pemaksaan yang tidak sepaham. Kita bisa melihat dari internasional seperti daesh, IRA,di Indonesia pun demikian. Ini bukan  soal agama namun mengenai teroris dan terorisme.

salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun