Benarkah Soal China dan Kafir yang Menjadi Alasan?
Pilpres lalu dan pilkada DKI soal SARA dengan kafir dan kesukuan menjadi andalan paling menjual. Ahok yang jelas keturunan Thionghoa dan Kristen pula bisa dimengerti kalau menjadi sasaran tembak dari mana-mana. Pilpres lalu ada yang lucu dan aneh bagaimana dua hal ini soal keturunan China Pak Jokowi dan katanya Katolik dengan nama Herebertus, ini perlu belajar lagi tidak ada Santo Herbertus, kaitan dengan baptis, kalau Heribertus baru ada. Ngawurnya perlu belajar lagi. Eh kini nongol lagi soal ini.
Perlu dipertanyakan mengapa dua hal ini yang menjadi andalan. Pertama jelas soal agama. Aneh bin ajaib sebelum pilpres lalu ada Pak Tanu yang juga Kristen mengapa tidak ramai dan menjadi pembicaraan. Jelas-jelas Jokowi yang Muslim paling tidak sudah tiga kali sumpah jabatan menjadi walikota dua kali, jadi gubernur, dan disumpah di bawah Kitab Suci Alqoran, masih saja dipelintir menjadi Katolik, China lagi. Suara Ahok China dan Kristen juga tidak sederas ketika di Jakarta. Banyak jawaban karena Jakarta strategis, seksi, corong Indonesia dan sebagainya. Sama sekali tidak masuk akal.
Jika karena Jakarta dan kehendak Tuhan Pak Ahok adalah Thionghoa dan Kristen, ini jelas kehendak Tuhan bukan keinginannya, mengapa pas Pak Jokowi juga “diserang” dengan dua model SARA ini? Apa artinya? Ini masalah kinerja bukan masalah agama dan suku. Kembali pembanding, mengapa Tanu tidak dipersoalkan, padahal calon wapres lho, akan dijawab toh partainya tidak akan mampu bersaing, waktu itu belum ketahuan, bahkan “KUIS KEBANGSAAN”-nya banyak yang suka dan mau.
Ada pula yang menjadi pertanyaan, adalah apakah kalau Muslim, bukan keturunan, namun tegas, dan tidak kenal kompromi akan didukung dan tidak dimusuhi? Kembali jawaban soal Pak Jokowi, lha kan Muslim dan katanya pribumi?
Bukan Soal Agama dan Ras.
Pertama. Kinerja yang mengganggu kenyamanan yang selama ini sudah nyaman dilakukan. Baik birokrat, pengusaha yang suka akan suap dan kolusi, maling berbagai jenisnya, dan orang-orang yang tidak suka berubah.
Kedua,awalnya,Pak Jokowi dan juga Ahok didukung kog, apa ras dan agamanya baru sekarang? Sama sekali tidak, kog bisa tiba-tiba balik badang dan SARA menjadi pembicaraan utama? Apa pas dilantik dulu pas bupati, pas wagub, atau pas gubernur Ahok tidak Kristen belum Thionghoa? Tidak bukan? Jelas saja bahwa soal SARA ini bukan yang utama, hanya alasan yang dibuat-buat.
Ketiga, orang yang biasa seenaknya akan kehilangan kesempatan baik untuk maling atau kong kalikong, lihat saja daerah di manapun, agamanya apapun, kalau tidak ada penolakan dalam kongkalikong, tidak akan ada penolakan, eh malah maling bersama-sama, lihat saja Sumut, barengan masuk bui. DPR-D dan gubernurnya. Sekali lagi ini bukan soal agama dan sukunya. Soal kerjasama yang berpotensi hilang.
Keempat, biasanya yang teriak-teriak itu melalui corong pihak lain, media sosial yang paling keras berteriak, sedangkan yang memiliki kepentingan aslinya hanya kalem-kalem saja. Lihat saja parpol atau orang yang pernah ditolak biasanya begitu keras dan sengit di dalam menilai atas nama kinerja, padahal jelas saja sebelumnya memuji. Pujian awalnya memangnya tidak tahu aslinya yang dipuji tersebut? Jelas saja tahu.
Kelima, jelas saja Pak Jokowi itu, Jawa, Muslim, bisa mendadak jadi bermarga Oey, keturunan pengusaha gula, dan Herebertus, coba dari mana ini muncul, karena ketidaksukaan kalau menjadi pimpinan dan membuat kacau kepentingan. Sekali lagi bukan karena asal usul yang amburadul cara menyematkannya itu.
Keenam, lha memangnya Ahok itu pas 2012 belum Thionghoa, belum Kristen? Lucu saja tiba-tiba berubah haluan yang dulu mengelu-elukan dukung kini berbalik arah dan menyatakan kapir dan China. Sekali lagi ini kepentingan terganggu.
Ketujuh,Bu Susi juga Muslim bukan pula Thionghoa, mengapa dimusuhi, katanya kapal yang ditenggelamkan itu begini begitu. Ini soal ketegasan yang selama ini para maling berpesta pora kehilangan kesempatan. Bukan soal agama dan ras bukan?
Ini bukan soal nabi Jokowi atau Ahok atau pecinta atau penista, namun biar mulai jernih melihat persoalan. Katanya mengusir penjajah, eh malah sekarang ilmu pecah belah Belanda itu dipakai, ironisnya oleh anak bangsa sendiri. Ini juga tidak masalah agama atau suku, namun agama dan suku yang dipaksakan sebagai masalah kog. Lucu saja mengapa bisa menjadi demikian? Karena dimanfaatkan oleh orang yang memiliki kepentingan dan terganggu kesenangannya. Apa itu? Jelas sudah tahu, maling yang ditutup lobang yang sedang digali dan dinikmati.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H