Keempat, abainya parpol di dalam pembinaan kader. Menciptakan kader saja tidak mampu, apalagi menegor kader yang bisa saja sudah berjasa dengan dananya, suaranya, atau pemikirannya. Independensi parpol sangat lemah karena hal ini, penegakan disiplin saja susah apalagi menyangkut etis dan moral.
Kelima, banyaknya parpol yang tidak jelas jenis kelaminnya, membuat maling pun akan dianggap malaikat ketika sudah dipecat partai lain. Contoh ini bejubun tidak perlu dijelaskan dan diberi contoh  lagi. Dalih tidak dicabut haknya oleh hakim berarti tokoh itu masih boleh menjaid kader di partai lain. Kembali ini adalah soal etis.
Apa yang bisa dibuat?
Lagi dan lagi pembuktian terbalikakan membuat pejabat kerja keras dan malu untuk maling. Parpol yang kuat, sehingga tidak menerima maling dan bekas maling menjadi kader apalagi pimpinan. Perpindahan parpol dengan aturan yang ketat, dua periode pemilu baru boleh. Penyederhanaan parpol,suka atau tidak, parpol biang masalah apalagi soal uang dan gila kuasa, mereka harus kerja keras atau melakukan pendidikan dengan baik sehingga menjadi lebih baik lagi ke depannya, bukan seperti sekarang ini. Merengek ketika mendapat serangan, namun polah dan kinerja mereka amburadul.
Hukum ditegakkan,siapa yang pernah menyatakan hal itu sebagai sebuah janji bisa ada yang melaporkan sebagai pelaku pidana hal ini juga bisa mengurangi pejabat asbun, ingat bagaimana BPK berbicara soal ada penyimpangan dana kunker DPR tiba-tiba hilang. Ngapain harus teriak dulu baru diselidiki? Apa bukan kongkalikong? Dengan demikian pejabat lebih bijak dan santun di dalam berbuat baik di media sosial apalagi secara langsung.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H