Beberapa hari ini media heboh dengan fenomena Teman Ahok yang berhasil mengumpulkan sejuta KTP sebagai “karpet terbang” Ahok untuk mencalonkan diri lagi menjadi gubernur. Satu hal yang membuat harapan adalah bahwa ternyata anak muda itu masih bisa diandalkan, usai 1908, 1928, 1945, 1966, dan tentu 1998. Kerja keras mereka patut mendapat apresiasi apapun kekurangannya, namun bahwa mereka menunjukkan eksistensi, kerja keras, dan masih ada kerja “tanpa parpol” di era demokrasi akal-akalan ini.
Sisi sebaliknya dipertontonkan, demokrasi akal-akalan yang salah satunya diperlihatkan salah satu orang parpol yang bernama Habiburohman. Ingat salah satu nama. Karena masih banyak sekali orang parpol yang identik. Mengapa Habiburohman yang diambil sebagai pembanding dengan TA? Mengenai pernyataannya, kalau TA hanya omdo dan akan melompat dari puncak Monas jika bisa menghantar Ahok mencalonkan diri.
Ciri Politikus Demokrasi Akal-Akalan.
Dalam sebuah sesi tanya jawab Habiburohman mengakui bahwa kicauan itu akunnya, dia ketik dengan jempolnya sendiri (ini jelas bohong, susah lah ngetik pakai jempol, jari, baru benar), namun kelanjutannya yang jelas banget manusia jenis politikus jempolan di negeri ini. jurus ngeles yang paling ampuh.
Pertama, itu hanya perang urat syaraf dari TA. Lucu bin ajaib dengan adanya sejumpah data yang bertumpuk dinilai sebagai perang urat syaraf. Ini kan apa yang dikatakan sebagai perang urat syaraf dirinya beberapa bulan lalu, melemahkan semangat TA, dan mencoba mengerdilkan peran anak-anak muda dengan pernyataannya, dan malah menjadi bumerang. Jelas saja yang ia katakan sebagai kebodohan dan kebohongan (terlepas data itu valid atau tidak, ini ranah KPU yang membuktikan).
Kedua, azas praduga tak bersalah sebagai panglima elit partai, pejabat kalau ketahuan maling, eh kali ini dibalik. Kredibilitas TA diragukan karena ada rumor bantuan dana 30 M atas dasar kata orang, yang sama sekali belum ditindaklanjuti baik oleh kepolisian, KPU, dan atau KPK. Bagaimana kenyataan yang ada rekaman elektroniknya dikalahkan oleh rumor yang sama sekali belum ada titik terangnya sama sekali.
Ketiga, pengakuan akun tidak dibajak, sebagai hal yang jauh lebih beradab, mengaku ngetik sendiri juga lumayanlah, namun mengapa harus ngeles dan mencari kambing hitam, dengan menuduh pihak lain macam-macam.
Pelajaran Berharga dari Model Politikus dan Demokrasi Akal-Akalan
Pertama, ucapannya jangan dipegang, lha tertulis saja bisa ngeles ke mana-mana. Perlu pendidikan dan kesadaran moral politik tidak boleh lepas dari etis dan moralitas, sehingga tidak mudah bicara yang seenaknya sendiri kemudian ketika ditagih, ngamuk, mencari kambing hitam, menyalahkan media atau orang lain, dan sebagainya.
Kedua, susahnya mereka mengakui kesalahan, apalagi minta maaf. Apa coba susahnya sebagai negarawan mereka itu mengatakan maaf bahwa saya kemarin sudah kelewatan, dan itu sebagai permohonan maaf saya mundur, atau saya cabut. Sikap ksatria ini ternyata belum ada. Model kambing hitam yang laris manis bak kacang goreng. Orang ini bukan pribadi pertama yang sumpah berlebihan pas memenuhi nol besar, eyangnya pun melakukan, ada pula yang mau digantung di Monas, potong jari, dan potong kuping hingga penis. Semua berakhir pada muara kambing hitam dan ngeles.
Ketiga, demokrasi akal-akalan memanfaatkan ingatan pendek bangsa ini. Orang begitu nantinyapun masih bisa lagi jadi anggota dewan, karena lagi-lagi dipilih dan difasilitasi oleh parpol untuk jadi apa saja.
Keempat, abainya parpol di dalam pembinaan kader. Menciptakan kader saja tidak mampu, apalagi menegor kader yang bisa saja sudah berjasa dengan dananya, suaranya, atau pemikirannya. Independensi parpol sangat lemah karena hal ini, penegakan disiplin saja susah apalagi menyangkut etis dan moral.
Kelima, banyaknya parpol yang tidak jelas jenis kelaminnya, membuat maling pun akan dianggap malaikat ketika sudah dipecat partai lain. Contoh ini bejubun tidak perlu dijelaskan dan diberi contoh lagi. Dalih tidak dicabut haknya oleh hakim berarti tokoh itu masih boleh menjaid kader di partai lain. Kembali ini adalah soal etis.
Apa yang bisa dibuat?
Lagi dan lagi pembuktian terbalikakan membuat pejabat kerja keras dan malu untuk maling. Parpol yang kuat, sehingga tidak menerima maling dan bekas maling menjadi kader apalagi pimpinan. Perpindahan parpol dengan aturan yang ketat, dua periode pemilu baru boleh. Penyederhanaan parpol,suka atau tidak, parpol biang masalah apalagi soal uang dan gila kuasa, mereka harus kerja keras atau melakukan pendidikan dengan baik sehingga menjadi lebih baik lagi ke depannya, bukan seperti sekarang ini. Merengek ketika mendapat serangan, namun polah dan kinerja mereka amburadul.
Hukum ditegakkan,siapa yang pernah menyatakan hal itu sebagai sebuah janji bisa ada yang melaporkan sebagai pelaku pidana hal ini juga bisa mengurangi pejabat asbun, ingat bagaimana BPK berbicara soal ada penyimpangan dana kunker DPR tiba-tiba hilang. Ngapain harus teriak dulu baru diselidiki? Apa bukan kongkalikong? Dengan demikian pejabat lebih bijak dan santun di dalam berbuat baik di media sosial apalagi secara langsung.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H