Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

USA Super Power, KPK "Super Body", DPR Lembaga Super

17 Juni 2016   08:08 Diperbarui: 17 Juni 2016   09:05 1618
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lagi dan lagi, DPR mempertontonkan dagelan tidak lucu selain memalukan dan sangat ironis. Beberapa hari lalu menyatakan BPK yang benar dan KPK yang salah (paling tidak demikian bisa dipahami secara umum), itu belum usai dan ada kejelasan, eh malah ditambah dengan pernyataan menolak salah satu menteri karena ada rekomendasi proses politik di dewan (belum ada peradilan yang berkekuatan hukum padahal). Artinya apa? Bahwa soal keuangan, soal hukum, soal tata negara mereka yang paling hebat.

Keuangan dan hukum mereka “memihak” BPK daripada KPK, mereka merasa lebih ahli dari pada KPK, padahal yang memiliki ahli ada di kedua lembaga itu, bukan dewan. Mereka merasa di atas kedua lembaga sehingga bisa memberikan opini mana lebih benar dan mana yang salah. Mengapa tidak dilaprokan ke Bareskrim sehingga jelas mana yang main-main, apakah KPK atau BPK, soal ini sudah jelas saya bahas kemarin:.....

Belum usai dan jelas, eh salah satu pimpinannya konon malah mengeluarkan sebuah surat yang menolak seorang menteri untuk dengar pendapat dengan mereka. Artinya apa? Mereka mendikte pihak eksekutif bahwa mereka bisa menolak siapa yang bisa berbicara dengan mereka. Lho, hebat banget mereka? Sepakat bahwa hal ini berkaitan dengan pengawasan? Pengawasan macam mana kalau malah orang yang mengawasi kementrian tersebut sedang berproses di peradilan karena maling, ingat soal maling kemarin itu kementrian ini lho, seolah mereka sudah lebih baik dan menghukum menteri yang bersangkutan lebih buruk sehingga tidak pantas berbicara dengan mereka.

Aneh bin ajaib mereka menunggu hingga tiga kali sekretaris MA yang kedapatan ada uang 1,7 M di kamar mandi yang bersangkutan. Praduga tak bersalah bolehlah, mengapa ada uang  sebegitu banyak di rumah, pikiran positif, jika uang usaha sebagaimana klaimnya, mengapa “disembunyikan” di kamar mandi? Apakah hal ini jauh lebih baik bagi dewan dari pada menteri yang “belum” ada proses hukum sama sekali? Atau mereka lupa ada pejabat yang juga “buruk” demikian?

Menarik adalah, salah satu pimpinan yang berasal dari jalur “independen” pernah menyatakan KPK sebagai super body, sehingga perlu adanya revisi ini itu dan bahkan mewacanakan dibubarkan. Alasannya KPK selama itu (konteks waktu berbicara), selalu benar dan tidak pernah bisa “disetuh” mungkin tidak bisa mereka intervensi.  Apa artinya kalau sekarang lembaga yang ia pimpin selalu saja merasa benar seperti ini, merasa lebih dari lembaga lain, mengatur, mendikte, dan memberikan penilaian dalam banyak hal? Kog tidak keluar superdewan dari mereka ya?

USA sudah diakui sebagai negara adidaya, tidak ada yang meragukan karena memang kualitas mereka yang sudah ditunjukkan. Lha kalau kita selalu seperti ini? Mau bersaing dengan negara tetangga saja sulitnya minta ampun. Jangan-jangan nantinya didahului Timor Leste?

Mengapa terjadi?

Tidak taat konsensus bersama. Kita sudah memilih sistem presidensial, namun tidak setia dengan pilihan ini sehingga dewan selalu saja ngrecoki dan mengganggu. Ada koalisi, mosi tidak percaya, dan melengserkan presiden, ini jelas saja karena mereka tidak setia akan keputusan bersama. Ini banyak terjadi di mana-mana, keputusan, bahkan UU saja bisa diabaikan karena kepentingannya terganggu.

Pandangan eksekutif lebih daripada legislatif. Ini jelas tampak dewan berbondong-bondong mundur kalau ada peluang jadi menteri, atau bahkan bupati atau gubernur yang jelas-jelas turun kasta. Pengabdian itu belum ada, isinya cari kerja dan ujung-ujungnya uang. Jika demokrasi itu adalah pengabdian bagi bangsa dan negara, bisa di manapun dengan bahagia dan bangga bukan minder dan malu kemudian mundur demi yang jauh lebih rendah. Budaya feodal yang perlu dibuang.

Demokrasi akal-akalan, ini memang masih harus dijalani dengan hati terbuka bagi kita semua karena memang masih latihan. Tidak heran anak kecil itu kalau makan masih belepotan karena memang masih berfokus yang penting masuk mulut, dan itu memang fakta yang harus diterima.

Apa yang bisa dibuat untuk memperbaiki keadaan?

Kesadaran bersama untuk membangun bangsa. Stop maling dan merasa lebih benar bagi pejabat-pejabat tinggi. Salah satunya berani mengakui kelemahan lembaganya maupun kelebihannya. Dengan demikian bisa saling menghargai. Selama ini lembagaku pasti benar dan dengan demikian bisa menutup-nutupi permasalahan dan itu menyimpan api di dalam sekam.

Penyederhanaan parpol. Sangat memalukan memiliki sepuluh fraksi dan dua belas parpol namun hanya dua kelompok, yaitu pro dan kontra. Bukan soal pro pemerintah atau berseberangan, namun satu kelompok pro kepentingan yang satu kontra, itu saja, bagaimana selama ini hal itu menjadi panglima kerja dewan bukan yang lain. Rakyat sudah diwakili.

Pembuktian terbalik akan harta. Ini sampai hari raya monyet pun tidak akan ada inisiasi dari dewan. Jika adapun akan dijegal mereka, karena kalau ada, akan menyiapkan tiang gantungan bagi mereka sendiri. Dengan keberanian membuktikan asal usul harta mereka akan ketahuan siapa yang maling dan siapa yang jujur. Selama ini perang opini, rebutan kekuasan dan kebenaran itu sebenarnya hanya akan bermuara ke maling dan uang.

Harapan itu ada, dengan lahirnya politisi yang akan menggantikan politikus dan pejabat yang sudah berpikir maju dengan pemerintahan bersih dan tidak mau kerja sama dengan maling. Masih perlu waktu dan keberanian untuk tetap bersabar.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun