Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Balada Sapi di Negeri Gemah Ripah Loh Jinawi

4 Juni 2016   09:27 Diperbarui: 4 Juni 2016   10:01 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Balada Sapi di Negeri Gemah Ripah Loh Jinawi

Pada tahun 1970-an sampai tahun 1980-an Pemerintah Pusat memberikan bantuan ternak sapi gaduhan secara bergulir kepada masyarakat petani di pedesaan dengan bimbingan tenaga BUTSI ( sarjana magang ) dan kader inseminasi buatan ( artifisial insemination ) pada dinas peternakan .

Perjanjian gaduhan sangat sederhana dengan mengadopsi sistem gaduhan sapi / kerbau yang sudah berkembang dalam kehidupan masyarakat pedesaan, yaitu penggaduh cukup setor seekor anak sapi dari kelahiran pertama atau kelahiran kedua. Sedangkan induk sapi yang diterima pertama kali sepenuhnya menjadi milik penggaduh yang bersangkutan . Jika induk sapi yang diterima pertama kali mati , tidak ada kewajiban penggaduh mengembalikan kepada pemerintah. Jika tidak bisa bunting dalam satu tahun pertama, maka induk sapi itu akan diganti / ditukar oleh pemerintah . Dengan demikian, di jaman awal orde baru sudah dipraktekkan kebijakan memajukan kesejahteraan umum melalui bantuan ( hibah penuh ) ternak sapi gaduhan dari pemerintah ( eksekutif ) kepada rakyat.

http://tipikorngamuk.blogspot.co.id/2014/11/pemberdayaan-atau-penistaan-rakyat.html

Terima kasih kepada Blogger yang menyediakan data atas ingatan sempit saya, sebagaimana yang saya kutip secara langsung seperti di atas. Setiap kali mendengar harga daging sapi mahal dan susu yang meningkat, ingatan saya selalu pada sapi bimas,yang kala saya masih kecil beberapa kali menjadi milik tetangga.

Saat itu ada namanya sapi kastroli, sapi Australia,yang hendak “menggantikan” sapi lokal yang biasanya berwarna putih mulus, atau kecoklatan, dan biasanya berbadan kecil. Didatangkan sapi belang hitam putih, yang jauh lebih besar dan gagah, namun bukan untuk menarik gerobak dan pedati atau membajak sawah. Gadis dari seberang ini dikandangkan, dimanja, untuk diambil susunya. Beberapa lama desa-desa di sekitar saya lumayan menggeliat dengan adanya GKSI, Gabungan Koperasi Susu Indonesia. Susu sapi menjadi bahan yang sangat melimpah, jika tidak terjual akan dibuat tahu, hanya itu waktu itu yang bisa dibuat. Itu efek positifnya.

Semua hilang tidak berbekas. Ide negara memberikan sapi kepada rakyatnya tentu sangat bagus. Ada tetangga yang rumahnya saja kalau sapi itu mberot,ikut roboh bisa merasakan nikmatnya memiliki sapi. Susu yang disetorkan ke koperasi tentu menjadi pemasukan. Pola bantuan bergulir yang idenya sangat bagus dan cerdas itu yang muaranya sama saja. Tidak ada bekas satupun. Untung ada Mbah Gugle yang membantu ingatan masa kecil itu.

Tetangga bisa menjadi orang yang naik kemampuan materi dengan memiliki sapi, gratis lho. Sapi yang sebenarnya kemewahan menjadi kenyataan. Susu menjadi mudah dan terjangkau. Sayang program indah dan bagus itu terulang pada mentalitas antara pengawasan yang lemah, implementasi ide dan gagasan yang berhenti pada gagasan. Bagaimana sekarang pemerintah tidak perlu geger soal daging jika program kala itu bisa berjalan dengan baik. Minimal 50% saja bisa bergulir, hari ini sudah sejahtera. Ingat betul belum ada di desa saya yang sempat tetangga itu mendapatkan anakan yang menjadi indukan. Indukan semua musnah entah ke mana. Anggaran negara yang hanya memberikan kemewahan sejenak bagi beberapa orang. Terutama pemangku kebijakan waktu itu.

Ide ini diulang pada pemerintahan lalu, dengan kejadian dan akhir yang sama, uang negara habis tidak bersisa dan kembai masyarakat tidak berubah. Model sedikit berubah dengan cara kelompok tani, namun lagi-lagi juga entah ke mana muara uang yang lalu itu.

Apa yang bisa dibuat? Jangan lagi membagikan tanpa pengawasan dan sikap mental yang berubah.Pengawasan yang lemah menjadikan yang kuat dan kuasa bisa mendapatkan banyak keuntungan juga terjadi waktu itu, kades bisa memiliki sapi untuk rakyatnya lebih dari lima, tapi semua juga tidak bersisa.

Distribusi yang jelas dan bukan asal-asalan apalagi akal-akalan.Ini penyakit menahun dengan main mata antara surveyor dan yang akan mendapat bantuan, akhirnya? Ya jelas hilang karena memang semua hanya akal-akalan. Orang yang dekat dengan kekuasaan bukan yang benar-benar bisa melakukannya, akhirnya menguap entah ke mana. Misalnya mau ternak sapi ya jelas ada penanggung jawab, misalnya dinas peternakan, pertanggungjawabannya apa kalau ada kegagalan, jangan kambing hitam seperti antrax dan sejenisnya padahal karena tidak kompeten.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun