Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bangsa Gumunan (Mudah Takjub)

21 Mei 2016   06:53 Diperbarui: 21 Mei 2016   08:32 644
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu nasihat Semar sebagai sesepuh dalam pewayangan adalah, aja gumunan,jangan mudah takjub, terheran-heran, dan kagum berlebihan. Gambaran gumunan adalah orang desa yang masuk ke kota metropolitan pertama kalinya, melihat gedung sangat tinggi, bengong dan mikir berapa banyak bambu untuk tangga naiknya. 

Sering kita sebagai bangsa bersikap demikian, saat Obama jadi presiden karena pernah hidup di Jakarta merasa ikut memiliki, saat Joey Alexader masuk nominasi grammy semua merasa kenal, heboh prostitusi online, semua bahasa berbuih-buih sekian lamanya, pembebasan sandera kemarin pun, heboh merasa semua berjasa, paling berjasa dan bisa menjadi bumerang di masa depan kalau mengalami hal yang sama. Lha hanya di Indonesia ada kehebohan soal pembalap yang berlaga di internasional. 

Dimintai bantuan dana mencemooh, kalau mau dibeayai tetanggan ngamuk. Terbaru, soal kekerasan seksual remaja, semua heboh membahas. Gumun yang positif memberikan kontibutif dan solutif. Sangat bermakna, bagaimana Korsel yang dulu dikatakan mengekor Jepang, kini bisa setara bahkan dalam teknologi telepon cerdas jauh melampaui Jepang. Gumun, belajar mengikuti, dan bisa bersaing bahkan mengalahkan.

Gumun yang tidak berdasar secara positif akan menghasilkan cela, karena kecewa. Kita ingat bagaimana kalau Joey Alexander tidak menang, ada berita yang mengatakan Joey gagal, parameter gagalnya ini  apa coba? Yang mengatakan menghidupkan piano saja belum tentu bisa, apalagi membunyikan, kog bisa mengatakan gagal. 

Saat Rio tidak finis, cemoohan yang sangat memalukan, kualitas kampung saja menghabiskan uang rakyat, halah, lha yang mengatakan ini jangan-jangan naik odong-odong saja mabuk. Berjuta model kisah yang sama. Berawal dari gumun yang tidak bernilai, ndelok, kendel alok,berani berkomentar. Sekarang ini paling heboh adalah kekerasan seksual terhadap remaja dan oeh remaja, media bisa mendapatkan kabar dari seluruh negeri. Membuat miris tanpa solusi yang ditawarkan.  

Kontribusi apa sih, kog bisa merasa berjasa dan kemudian mencela?Media sosial, komentar di media on line, ini nampak banget. Bagaimana bisa berkelahi soal Real Madrid vs Barcelona, hingga ratusan komentar kalau ada el clasico, jal mereka ini ribuan kilo bahkan mereka saja tidak tahu, mengapa kita heboh. 

Sama sekali tidak ada kontribusi kita, juga tidak ada apa-apanya, namun bisa demikian hebohnya. Kalau tidak hati-hati kita menjadi bangsa yang rebutan balung tanpa isi,berebut tulang tanpa adanya isi. Coba soal kebiri ini, semua bisa mengatakan dengan berbuih-buih, namun selalu lepas dari hal yang esensial, paling-paling malah menambha masalah dan melebar ke mana-mana.

Biasa saja, yang berlebihan tidak elok.Perlu bersikap biasa saja, menilai banyak hal yang tidak penting, atau tidak mendesak, sehingga tidak lahir sikap sok tahu. Kita tentu heran bagaimana korban kebakaran tidak bisa mendapatkan akses bantuan karena berjubelnya penonton. Hal yang harusnya mendapatkan bantuan malah menjadi tontonan.

Ranah publik dan privat yang telah diruntuhkan,media memang merupakan ciri bangsa maju. Namun alpa akan etis, akhirnya yang menarik menjadi sasaran utama, bahkan orang yang berduka saja diwawancarai, korban yang sedang bersedih, ditampilkan dengan tangis yang menghiba, demi mengejar kecepatan dan sisi dramatis berita. Tidak heran pertengkaran suami-istri, rebutan harta, rebutan pasangan bisa seperti live di masyarakat kita. Yang private telah terbongkar atas nama kebebasan berekspresi, kebebasan itu tetap saja terikat akan norma dan etika.

Sikap keteladanan dari pemimpin, sikap yang malah makin pudar dan jauh. Bagaimana pejabat atau mantan pejabat menghujat hanya karena kecewa itu biasa, namun memuji setinggi langit, bahkan menjilat kala mendapatkan keuntungan dan dekat dengan pribadi itu.

Penekanan pendidikanpada pengetahuan dan ilmu teknologi saja, lalai akan budi pekerti dan etis, akhirnya curang demi kelulusan itu sah. Tidak heran lahir model orang miskin empati dan lebih mengejar popularitas, misalnya cepatnya mendapat jempol di media sosial daripada membantu.

Pilihan untuk menjaga jarak yang keblabasan, sikap antara hati dan otak itu penting bisa menyikapi engan bijaksana, namun kala ranah rasa yang dibutuhkan malah menggunakan rana kognisi dan kebalik-balik. Lihat bagaimana maling merasa cobaan Tuhan ada bencana malah menonton. Bisa menjaga jarak baik sehingga tidak menjadi gumunan namun bisa menelaah dan mempelajari, dan akhirnya dapatlah ilmu baru.

Perilaku kritisdan logisjauh dari mendapatkan perhatian. Jangan heran anak yang hanya harus ngikut ide guru atau orang tua saja, mana bisa kritis, kala mampu berbuat kritis sering kebablasan dan kelewatan. Lihat bagaimana ada ide demokrasi kog merusak. Sikap tanggung jawab itu lepas dari sikap bertanggung jawab.

Gumun, heran, takjub baik sepanjang memberikan inspirasi berbuat baik dan maju. Berbeda dan tidak ada faedahnya kalau hanya menghasilkan celaan kalau kecewa. Hentikan sikap latah dan mencela model petinggi negeri ketika kecewa, anak bangsa perlu contoh positif, bukan hanya comel seenak udelnya sendiri.

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun